A.
Tujuan Pendidikan Menurut Filsafat Pragmatisme
Filsuf pragmatisme berpendapat bahwa
pendidikan harus mengajarkan seseorang tentang bagaimana berpikir dan
menyesuaikan diri terhadap perubahan yang terjadi di dalam masyarakat. Sekolah
harus bertujuan mengembangkan pengalaman-pengalaman tersebut yang akan
memungkinkan seseorang terarah kepada kehidupan yang baik. Tujuan-tujuan
pendidikan tersebut meliputi:
·
Kesehatan yang baik
·
Keterampilan-keterampilan kejuruan (pekerjaan)
·
Minat-minat dan hobi-hobi untuk kehidupan yang menyenangkan.
·
Persiapan untuk menjadi orang tua.
·
Kemampuan untuk bertransaksi secara efektif dengan masalah-masalah
sosial (mampu memecahkan masalah-masalah sosial secara efektif)
Tujuan-tujuan khusus pendidikan sebagai
tambahan tujuan-tujuan di atas, bahwa pendidikan harus meliputi pemahaman
tentang pentingnya demokrasi. Pemerintahan yang demokratis memungkikan setiap
warga negara tumbuh dan hidup melalui interaksi sosial yang memberikan tempat
bersama dengan warga negara lainnya. Pendidikan harus membantu siswa menjadi
warga negara yang demokratis (Callahan and Clark, 1983). Karena itu menurut
pragmatisme pendidikan hendaknya bertujuan menyediakan pengalaman untuk
menemukan/memecahkan hal-hal baru dalam kehidupan pribadi dan kehidupan
sosialnya (Edward J. Power, 1982).
Untuk mengetahui apa yang menjadi tujuan
pendidikan pragmatisme, tidak terlepas dari pandangannya tentang realitas,
teori pengetahuan dan kebenaran, serta
teori nilai. Seperti telah dikemukakan, bahwa realitas merupakan interaksi
manusia dengan lingkungannya. Dunia akan bermakna sejauh manusia mempelajari
makna yang terkandung di dalamnya. Perubahan merupakan esensi dari realitas,
dan harus siap mengubah cara-cara yang akan kita kerjakan. Mengenai kebenaran,
pada prinsipnya kebeneran itu tidak mutlak, tidak berlaku umum, tidak tetap,
tidak berdiri sendiri dan tidak terlepas dari akal yang mengenal. Yang ada
hanya kebenaran khusus, yang setiap saat bis diubah oleh pengalaman berikutnya.
Sedangkan mengenai nilai, pragmatism menganggap bahwa nilai itu relative.
Kaidah-kaidah moral dan eika tidak tetap, melainkan terus berubah seperti
perubahan kebudayaan dan masyarakat.
Dari uraian diatas, dapat ditafsirkan apa dan
bagaimana tujuan pendidikan serta bagaimana pelaksanaan pendidikan
diorganisasikan. Objektifitas tujuan pendidikan harus diambil dari masyarakat
dimana si anak hidup, dimana pendidikan berlangsung, karena pendidikan berlangsung
dalm kehidupan. Tujuan pendidikan tidak berada di luar kehdupan melainkan
berada di dalam kehidupan sendiri. Seperti telah di uraikan bahwa esensi
relaitas adalah perubahan, tidak ada kebenaran mutlak, serta nilai itu relatif,
maka berkaian dengan tujuan pendidikan, menurut pragmatism tidak ada tujuan
umum yang berlaku secara universal, tidak ada tujuan yang tetap ddan pasti.
Yang ada hanyalah tujuan khusus belaka, tidak ada tujuan yang berlaku umum yang
universal. Jadi, tujuan pendidikan tidak dapat dietapkan pada semuan masyarakat
kecuali apabila terdapat hubungaan timbale balik antara masing-masing individu
dalam masyarakat tersebut.
Walaupun pragmatisme tidak mengenal tujuan
akhir pendidikan namun Dewey (1964:94) mengemukakan beberapa kriteria dalam menentukan
tujuan pendidikan yaitu harus dihasilkan dari situasi kehidupan di sekeliling
anak dan pendidik, harus fleksibel dan mencerminkan aktifitas bebas. Tujuan
pendidikan, menurut pragmatisme bersifat temporer, karena tujuan itu merupakan
alat untuk bertindak. Apabila suatu
tujuan telah tercapai maka hasil tujuan tersebut menjadi alat unuk mencapai
tujuan berikutnya. Dengan tujuan pendidikan individu harus mampu melanjutkan
pendidikan. Hasil belajar harus dapat dijadikan alat untuk tumbuh.
Beberapa karaktteristik tujuan pendidikan yang
harud diperhatikan adalah:
1.
Tujuan pendidikan hendaknya ditentukan dari kegiatan yang didasarkan
atas kebutuhan instrinsik anak didik.
2.
Tujuan pendidikan harus mampu memunculkan suatu metode yang dapat
mempersatukan aktifitas pengajaran yang sedang berlangsung.
3.
Tujuan pendidikan adalah spesifik dan langsung pendidikan harus tetap
menjaga untuk tidak mengatakan yang
berkaitan dengan tujuan umum dan tujuan akhir.
Tujuan pendidikan adalah suatu kehidupan yang
baik, yaitu kehidupan seperti yang digambarkan oleh Kingsley Price (1962:476),
“Kehidupan yang baik dapat dimiliki, baik oleh individu maupun oleh masyarakat.
Kehidupan yang baik merupakan suatu pertumbuhan maksimum dan hanya dapat diukur
oleh mereka yang memiliki inelegensi (kecerdasan) yang baik. Perbuatan yang
intelijen (cerdas) merupakan jaminan terbaik untuk melangsungkan pertumbuhan,
merupakan jaminan terbaik untuk moral yang baik.”
Pada hakikatnya masyarakat adalah terbaik,
namun masyarakat yang demokratis merupakan masyarakat terbaik, dimana terdapat
kesempatan untuk setiap pekerjaan, dan dalam demokrasi tidak mengenal adanya
stratifikasi sosial. Kesamaan-kesamaan merupakan jaminan bahwa setiap orang
akan dapat mengambil bagian melaksanakan segala aktivitas lembaga yang ia
masuki. Penggunaan intelegensi secara maksimal, berarti memberi kesempatan
suatu pertumbuhan kepada individu secara maksimal.
B.
Peranan Siswa Menurut Filsafat Pragmatisme
Dalam filsafat pragmatisme, nilai kebenaran
bersifat relatif yang berkesesuaian dengan nilai-nilai yang disepakati
masyarakat dan menunjang kepada kehidupan yang sesuai harapan di masa depan.
Maka dari itu, siswa memiliki peranan untuk mengolah setiap pengalaman yang
didapatkannya untuk mengetahui kebenaran yang ada di masyarakatnya. Dalam hal
ini, siswa akan mampu merekonstruksi setiap pengalaman yang ia dapatkan secara
kronologis selama ia hidup bermasyarakat serta berinteraksi dengan manusia dan
alam di sekitarnya. Setiap pengalaman yang ia dapatkan nantinya akan menjadi
suatu pertimbangan bagi siswa tersebut dalam menyelesaikan suatu masalah baik
yang berhubungan dengan dirinya maupun orang lain.
C.
Peranan Guru Menurut Filsafat Pragmatisme
Dalam Pragmatisme, belajar selalu
dipertimbangkan untuk menjadi seorang individu. Dalam pembelajaran peranan guru
bukan “menuangkan” pengetahuannya kepada siswa, sebab upaya tersebut merupakan
upaya tak berbuah. Sewajarnya, setiap apa yang siswa pelajari sesuai dengan
kebutuhan-kebutuhan, minat-minat dan masalah pribadinya. Dengan kata lain isi
pengetahuan tidak bertujuan dalam dirinya sendiri, melainkan bermakna untuk
suatu tujuan. Dengan demikian seorang
siswa yang menghadapi suatu pemasalahan akan mungkin untuk merekonstruksi
lingkungannya untuk memecahkan kebutuhan yang dirasakannya. Untuk membantu
siswa, guru harus berperan :
·
Menyediakan berbagai pengalaman yang akan memunculkan motivasi. Field
Trips, film-film, catatan-catatan, dan tamu ahli merupakan contoh-contoh
aktifitas yang dirancang untuk memunculkan minat siswa terhadap permasalah
penting;
·
Membimbing siswa untuk merumuskan batasan masalah secara spesifik;
·
Membimbing merencanakan tujuan-tujuan individual dan kelompok dalam
kelas untuk digunakan dalam memecahkan masalah;
·
Membantu para siswa dalam mengumpulkan informasi berkenaan dengan
masalah. Secara esensial, guru melayani para siswa sebagai pembimbing dengan
memperkenalkan keterampilan, pemahaman-pemahaman, pengetahuan dan
penghayatan-penghayatan melalui penggunaan buku-buku, komposisi-komposisi,
surat-surat, narasumber, film-film, field trips, televisi atau segala sesuatu
yang tepat digunakan;
·
Bersama-sama kelas mengevaluasi apa yang telah dipelajari; bagaimana
mereka mempelajarinya; dan informasi baru apa yang setiap siswa temukan oleh
dirinya (Callahan and Clark, 1983).
Edward J. Power (1982) menyimpulkan pandangan
pragmatisme bahwa siswa merupakan organisme yang rumit yang mempunyai kemampuan
luarbiasa untuk tumbuh; sedangkan guru berperanan untuk memimpin dan membimbing
pengalaman belajar tanpa ikut campur terlalu jauh atas minat dan kebutuhan
siswa.
Mengacu kepada prinsip bahwa segala sesuatu
terus berubah, prinsip bahwa pengetahuan terbaik yang diperoleh melalui
eksperimentasi ilmiah juga selalu berubah dan bersifat relatif, dan
prinsip-prinsip relativisme nilai-nilai, maka Callahan and Clark (1983)
menyimpulkan orientasi pendidikan pragmatisme adalah Progresivisme. Artinya
pendidikan pragmatisme menolak segala bentuk formalisme yang berlebihan dan
membosankan dari pendidikan sekolah yang tradisional. Anti tehadap
otoritarianisme dan absolutisme dalam berbagai bidang kehidupan, terutama dalam
berbagai bidang kehidupan agama, moral, sosial, politik, dan ilmu pengetahuan.
Sebaliknya, pendidikan Pragmatisme dipandang memiliki kekuatan demi terjadinya
perubahan sosial dan kebudayaan melalui penekanan perkembangan individual
peserta didik. Selain itu Callahan and Clark (1983) memandang rekonstrukionisme
adalah variasi dari progresivisme, yaitu suatu orientasi pendidikan yang ingin
merombak tata susunan kebudayaan lama, dan membangun tata susunan kebudayaan
baru melalui pendidikan/sekolah. Perbedaannya dengan progresivisme yaitu bahwa
rekonstruksionisme tidak menekankan perubahan masyarakat dan kebudayaan melalui
perkembangan individual siswa (child centered), melainkan melalui rekayasa
sosial dengan jalan pendidikan atau sekolah.
Guru di sekolah harus merupakan suau petunjuk
jalan serta pengamat tingkah laku anakuntuk mengetahui apakah yang menjdi minat
perhatian anak. Dengan mengamati perilaku anak tersebut, guru dapat menentukan
masalah apa yang akan dijadikaan pusat perhatian anak. Jadi dalam proses
belajar mengajar ada beberapa saran bagi guru yang harus diperhatikan, terutama
dalam menghadapi dalam kelas, yaitu:
1.
Guru tidak boleh memaksakan suatu ide atau pekerjaan yang tidak sesuai
dengan minat dan kemmapuan siswa;
2.
Guru hendaknya menciptakan situasi yang menyebabjab siswa akan merasakn
adnya suatu masalah yang ia hadapi, sehingga timbul minat untuk memecahkan masalah tersebut;
3.
Untuk membangkitkan minat anak hendaklah guru mengenal kemampuan serta
minat masing-masing siswa;
4.
Guru harus dapat bisa menciptakan situasi yang menmbulkan kerja sama
dalam belajar, antara siswa dengan siswa, antara siswa denga guru, begitu pula
antara dengan guru. (Kingley Price, 1962:467)
Jadi tugas guru dalam proses belajar mengajar
adalah sebagai fasilitator, memberi dorongan dan kemudahan kepada siswa untuk
bekerja bersama-sama, meyelidiki dan mengamati sendiri, berpikir dan menarik
kesimpulan sendiri, membangun dan menghiasi sendiri sesuai dengan minat yang
ada pada dirinya. Dengan jalan ini si anak akan belajar sambil bekerja anak
harus dibangkitkan kecerdasannya agar
pada diri anak timbul khasrat untuk menyelidik secara teratur dan akhirnya
dapat berpikir ilmiah dan logis, yaitu cara berpikir yang didasarkan pada fakta
dan pengalaman.
D.
Kurikulum Pendidikan Menurut Filsafat Pragmatisme
Menurut para filsuf Pragmatisme, tradisi
demokratis adalah tradisi memperbaiki diri sendiri (a self-correcting
tradition). Implikasinya warisan-warisan sosial budaya dari masa lalu tidak
menjadi fokus perhatian pendidikan. Sebaliknya, pendidikan seharusnya terfokus
kepada kehidupan yang baik pada masa sekarang dan masa yang akan datang.
Standar kebaikan seseorang diuji secara terus-menerus dan diverifikasi melalui
pengalaman-pangalaman yang berubah. Pendidikan harus dilaksanakan untuk
memelihara demokrasi. Sebab hakikat demokrasi adalah dinamika dan perubahan
sebagai hasil rekonstruksi pengalaman yang terus-menerus belangsung. Namun
demikian rekonstruksi ini tidak menuntut atau tidak meliputi perubahan secara
menyeluruh. Hanya masalah-masalah sosial yang serius dalam masyarakat yang
diuji ulang agar diperoleh solusi-solusi baru.
Dalam pandangan pragmatisme, kurikulum sekolah
seharusnya tidak terpisahkan dari keadaan-keadaan yang riil dalam masyarakat.
Dalam pendidikan materi pelajaran adalah alat untuk memecahkan masalah-masalah
individual, dan siswa secara perorangan ditingkatkan atau direkonstruksi, dan
secara bersamaan masyarakat dikembangkan. Karena itu masalah-masalah masyarakat
demokratis harus menjadi bentuk dasar kurikulum dan makna pemecahan ulang
masalah-masalah lembaga demokratis juga harus dimuat dalam kurikulum. Karena
itu kurikulum harus menjadi :
·
Berbasis pada masyarakat;
·
Lahan praktek cita-cita demokratis;
·
Perencanaan demokratis pada setiap tingkat pendidikan;
·
Kelompok batasan tujuan-tujuan umum masyarakat;
·
Bermakna kreatif untuk pengembangan keterampilan-keterampilan baru;
·
Kurikulum berpusat pada siswa (pupil/child centered) dan berpusat pada
aktifitas (activity cenetred). Selain itu perlu dicatat bahwa kurikulum
pendidikan pragmatisme diorganisasi secara interdisipliner, dengan kata lain
kurikulumnya bersifat terpadu, tidak merupakan mata pelajaran-mata pelajaran
yang terpisah-pisah.
Sejalan dengan uraian diatas, Edward J.Power
(1982) menyimpulkan bahwa kurikulum pendidikan pragmatisme berisi
pengalaman-penglaman yang telah teruji, yang sesuai dengan kebutuhan dan minat
siswa. Adapun kurikulum tersebut mungkin berubah.
E.
Metode Pembelajaran dalam Pendidikan Menurut Filsafat Pragmatisme
Sebagaimana dikemukakan Callahan and Clark
(1983), penganut eksperimentalisme atau pragmatisme mengutamakan penggunaan
metode pemecahan masalah (Problem Solving Method) serta metode penyelidikan dan
penemuan (Inquiry and Discovery Method). Dalam prakteknya (mengajar), metode
ini membutuhkan guru yang memiliki sifat berikut: permissive (pemberi
kesempatan), friendly (bersahabat), a guide (seorang pembimbing), open minded
(berpandangan terbuka), enthusiastic (bersifat antusias), creative (kreatif),
social aware (sadar bermasyarakat), alert (siap siaga), patien (sabar),
cooperative dan sincere (bekerja sama dan ikhlas atau bersungguh-sungguh).
semoga bermanfaat))
Tidak ada komentar:
Posting Komentar