Minggu, 29 November 2015

Implikasi Pendidikan Aliran Filsafat Pragmatisme

A.      Tujuan Pendidikan Menurut Filsafat Pragmatisme
Filsuf pragmatisme berpendapat bahwa pendidikan harus mengajarkan seseorang tentang bagaimana berpikir dan menyesuaikan diri terhadap perubahan yang terjadi di dalam masyarakat. Sekolah harus bertujuan mengembangkan pengalaman-pengalaman tersebut yang akan memungkinkan seseorang terarah kepada kehidupan yang baik. Tujuan-tujuan pendidikan tersebut meliputi:
·       Kesehatan yang baik
·       Keterampilan-keterampilan kejuruan (pekerjaan)
·       Minat-minat dan hobi-hobi untuk kehidupan yang menyenangkan.
·       Persiapan untuk menjadi orang tua.
·       Kemampuan untuk bertransaksi secara efektif dengan masalah-masalah sosial (mampu memecahkan masalah-masalah sosial secara efektif)
Tujuan-tujuan khusus pendidikan sebagai tambahan tujuan-tujuan di atas, bahwa pendidikan harus meliputi pemahaman tentang pentingnya demokrasi. Pemerintahan yang demokratis memungkikan setiap warga negara tumbuh dan hidup melalui interaksi sosial yang memberikan tempat bersama dengan warga negara lainnya. Pendidikan harus membantu siswa menjadi warga negara yang demokratis (Callahan and Clark, 1983). Karena itu menurut pragmatisme pendidikan hendaknya bertujuan menyediakan pengalaman untuk menemukan/memecahkan hal-hal baru dalam kehidupan pribadi dan kehidupan sosialnya (Edward J. Power, 1982).
Untuk mengetahui apa yang menjadi tujuan pendidikan pragmatisme, tidak terlepas dari pandangannya tentang realitas, teori pengetahuan dan kebenaran,  serta teori nilai. Seperti telah dikemukakan, bahwa realitas merupakan interaksi manusia dengan lingkungannya. Dunia akan bermakna sejauh manusia mempelajari makna yang terkandung di dalamnya. Perubahan merupakan esensi dari realitas, dan harus siap mengubah cara-cara yang akan kita kerjakan. Mengenai kebenaran, pada prinsipnya kebeneran itu tidak mutlak, tidak berlaku umum, tidak tetap, tidak berdiri sendiri dan tidak terlepas dari akal yang mengenal. Yang ada hanya kebenaran khusus, yang setiap saat bis diubah oleh pengalaman berikutnya. Sedangkan mengenai nilai, pragmatism menganggap bahwa nilai itu relative. Kaidah-kaidah moral dan eika tidak tetap, melainkan terus berubah seperti perubahan kebudayaan dan masyarakat.
Dari uraian diatas, dapat ditafsirkan apa dan bagaimana tujuan pendidikan serta bagaimana pelaksanaan pendidikan diorganisasikan. Objektifitas tujuan pendidikan harus diambil dari masyarakat dimana si anak hidup, dimana pendidikan berlangsung, karena pendidikan berlangsung dalm kehidupan. Tujuan pendidikan tidak berada di luar kehdupan melainkan berada di dalam kehidupan sendiri. Seperti telah di uraikan bahwa esensi relaitas adalah perubahan, tidak ada kebenaran mutlak, serta nilai itu relatif, maka berkaian dengan tujuan pendidikan, menurut pragmatism tidak ada tujuan umum yang berlaku secara universal, tidak ada tujuan yang tetap ddan pasti. Yang ada hanyalah tujuan khusus belaka, tidak ada tujuan yang berlaku umum yang universal. Jadi, tujuan pendidikan tidak dapat dietapkan pada semuan masyarakat kecuali apabila terdapat hubungaan timbale balik antara masing-masing individu dalam masyarakat tersebut.
Walaupun pragmatisme tidak mengenal tujuan akhir pendidikan namun Dewey (1964:94) mengemukakan beberapa kriteria dalam menentukan tujuan pendidikan yaitu harus dihasilkan dari situasi kehidupan di sekeliling anak dan pendidik, harus fleksibel dan mencerminkan aktifitas bebas. Tujuan pendidikan, menurut pragmatisme bersifat temporer, karena tujuan itu merupakan alat untuk bertindak.  Apabila suatu tujuan telah tercapai maka hasil tujuan tersebut menjadi alat unuk mencapai tujuan berikutnya. Dengan tujuan pendidikan individu harus mampu melanjutkan pendidikan. Hasil belajar harus dapat dijadikan alat untuk tumbuh.
Beberapa karaktteristik tujuan pendidikan yang harud diperhatikan adalah:
1.    Tujuan pendidikan hendaknya ditentukan dari kegiatan yang didasarkan atas kebutuhan instrinsik anak didik.
2.    Tujuan pendidikan harus mampu memunculkan suatu metode yang dapat mempersatukan aktifitas pengajaran yang sedang berlangsung.
3.    Tujuan pendidikan adalah spesifik dan langsung pendidikan harus tetap menjaga untuk tidak mengatakan  yang berkaitan dengan tujuan umum dan tujuan akhir.
Tujuan pendidikan adalah suatu kehidupan yang baik, yaitu kehidupan seperti yang digambarkan oleh Kingsley Price (1962:476), “Kehidupan yang baik dapat dimiliki, baik oleh individu maupun oleh masyarakat. Kehidupan yang baik merupakan suatu pertumbuhan maksimum dan hanya dapat diukur oleh mereka yang memiliki inelegensi (kecerdasan) yang baik. Perbuatan yang intelijen (cerdas) merupakan jaminan terbaik untuk melangsungkan pertumbuhan, merupakan jaminan terbaik untuk moral yang baik.”
Pada hakikatnya masyarakat adalah terbaik, namun masyarakat yang demokratis merupakan masyarakat terbaik, dimana terdapat kesempatan untuk setiap pekerjaan, dan dalam demokrasi tidak mengenal adanya stratifikasi sosial. Kesamaan-kesamaan merupakan jaminan bahwa setiap orang akan dapat mengambil bagian melaksanakan segala aktivitas lembaga yang ia masuki. Penggunaan intelegensi secara maksimal, berarti memberi kesempatan suatu pertumbuhan kepada individu secara maksimal.
B.       Peranan Siswa Menurut Filsafat Pragmatisme
Dalam filsafat pragmatisme, nilai kebenaran bersifat relatif yang berkesesuaian dengan nilai-nilai yang disepakati masyarakat dan menunjang kepada kehidupan yang sesuai harapan di masa depan. Maka dari itu, siswa memiliki peranan untuk mengolah setiap pengalaman yang didapatkannya untuk mengetahui kebenaran yang ada di masyarakatnya. Dalam hal ini, siswa akan mampu merekonstruksi setiap pengalaman yang ia dapatkan secara kronologis selama ia hidup bermasyarakat serta berinteraksi dengan manusia dan alam di sekitarnya. Setiap pengalaman yang ia dapatkan nantinya akan menjadi suatu pertimbangan bagi siswa tersebut dalam menyelesaikan suatu masalah baik yang berhubungan dengan dirinya maupun orang lain.

C.      Peranan Guru Menurut Filsafat Pragmatisme
Dalam Pragmatisme, belajar selalu dipertimbangkan untuk menjadi seorang individu. Dalam pembelajaran peranan guru bukan “menuangkan” pengetahuannya kepada siswa, sebab upaya tersebut merupakan upaya tak berbuah. Sewajarnya, setiap apa yang siswa pelajari sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan, minat-minat dan masalah pribadinya. Dengan kata lain isi pengetahuan tidak bertujuan dalam dirinya sendiri, melainkan bermakna untuk suatu  tujuan. Dengan demikian seorang siswa yang menghadapi suatu pemasalahan akan mungkin untuk merekonstruksi lingkungannya untuk memecahkan kebutuhan yang dirasakannya. Untuk membantu siswa, guru harus berperan :
·      Menyediakan berbagai pengalaman yang akan memunculkan motivasi. Field Trips, film-film, catatan-catatan, dan tamu ahli merupakan contoh-contoh aktifitas yang dirancang untuk memunculkan minat siswa terhadap permasalah penting;
·      Membimbing siswa untuk merumuskan batasan masalah secara spesifik;
·      Membimbing merencanakan tujuan-tujuan individual dan kelompok dalam kelas untuk digunakan dalam memecahkan masalah;
·      Membantu para siswa dalam mengumpulkan informasi berkenaan dengan masalah. Secara esensial, guru melayani para siswa sebagai pembimbing dengan memperkenalkan keterampilan, pemahaman-pemahaman, pengetahuan dan penghayatan-penghayatan melalui penggunaan buku-buku, komposisi-komposisi, surat-surat, narasumber, film-film, field trips, televisi atau segala sesuatu yang tepat digunakan;
·      Bersama-sama kelas mengevaluasi apa yang telah dipelajari; bagaimana mereka mempelajarinya; dan informasi baru apa yang setiap siswa temukan oleh dirinya (Callahan and Clark, 1983).
Edward J. Power (1982) menyimpulkan pandangan pragmatisme bahwa siswa merupakan organisme yang rumit yang mempunyai kemampuan luarbiasa untuk tumbuh; sedangkan guru berperanan untuk memimpin dan membimbing pengalaman belajar tanpa ikut campur terlalu jauh atas minat dan kebutuhan siswa.
Mengacu kepada prinsip bahwa segala sesuatu terus berubah, prinsip bahwa pengetahuan terbaik yang diperoleh melalui eksperimentasi ilmiah juga selalu berubah dan bersifat relatif, dan prinsip-prinsip relativisme nilai-nilai, maka Callahan and Clark (1983) menyimpulkan orientasi pendidikan pragmatisme adalah Progresivisme. Artinya pendidikan pragmatisme menolak segala bentuk formalisme yang berlebihan dan membosankan dari pendidikan sekolah yang tradisional. Anti tehadap otoritarianisme dan absolutisme dalam berbagai bidang kehidupan, terutama dalam berbagai bidang kehidupan agama, moral, sosial, politik, dan ilmu pengetahuan. Sebaliknya, pendidikan Pragmatisme dipandang memiliki kekuatan demi terjadinya perubahan sosial dan kebudayaan melalui penekanan perkembangan individual peserta didik. Selain itu Callahan and Clark (1983) memandang rekonstrukionisme adalah variasi dari progresivisme, yaitu suatu orientasi pendidikan yang ingin merombak tata susunan kebudayaan lama, dan membangun tata susunan kebudayaan baru melalui pendidikan/sekolah. Perbedaannya dengan progresivisme yaitu bahwa rekonstruksionisme tidak menekankan perubahan masyarakat dan kebudayaan melalui perkembangan individual siswa (child centered), melainkan melalui rekayasa sosial dengan jalan pendidikan atau sekolah.
Guru di sekolah harus merupakan suau petunjuk jalan serta pengamat tingkah laku anakuntuk mengetahui apakah yang menjdi minat perhatian anak. Dengan mengamati perilaku anak tersebut, guru dapat menentukan masalah apa yang akan dijadikaan pusat perhatian anak. Jadi dalam proses belajar mengajar ada beberapa saran bagi guru yang harus diperhatikan, terutama dalam menghadapi dalam kelas, yaitu:
1.    Guru tidak boleh memaksakan suatu ide atau pekerjaan yang tidak sesuai dengan minat dan kemmapuan siswa;
2.    Guru hendaknya menciptakan situasi yang menyebabjab siswa akan merasakn adnya suatu masalah yang ia hadapi, sehingga timbul minat  untuk memecahkan masalah tersebut;
3.    Untuk membangkitkan minat anak hendaklah guru mengenal kemampuan serta minat masing-masing siswa;
4.    Guru harus dapat bisa menciptakan situasi yang menmbulkan kerja sama dalam belajar, antara siswa dengan siswa, antara siswa denga guru, begitu pula antara dengan guru. (Kingley Price, 1962:467)
Jadi tugas guru dalam proses belajar mengajar adalah sebagai fasilitator, memberi dorongan dan kemudahan kepada siswa untuk bekerja bersama-sama, meyelidiki dan mengamati sendiri, berpikir dan menarik kesimpulan sendiri, membangun dan menghiasi sendiri sesuai dengan minat yang ada pada dirinya. Dengan jalan ini si anak akan belajar sambil bekerja anak harus dibangkitkan kecerdasannya  agar pada diri anak timbul khasrat untuk menyelidik secara teratur dan akhirnya dapat berpikir ilmiah dan logis, yaitu cara berpikir yang didasarkan pada fakta dan pengalaman.
D.      Kurikulum Pendidikan Menurut Filsafat Pragmatisme
Menurut para filsuf Pragmatisme, tradisi demokratis adalah tradisi memperbaiki diri sendiri (a self-correcting tradition). Implikasinya warisan-warisan sosial budaya dari masa lalu tidak menjadi fokus perhatian pendidikan. Sebaliknya, pendidikan seharusnya terfokus kepada kehidupan yang baik pada masa sekarang dan masa yang akan datang. Standar kebaikan seseorang diuji secara terus-menerus dan diverifikasi melalui pengalaman-pangalaman yang berubah. Pendidikan harus dilaksanakan untuk memelihara demokrasi. Sebab hakikat demokrasi adalah dinamika dan perubahan sebagai hasil rekonstruksi pengalaman yang terus-menerus belangsung. Namun demikian rekonstruksi ini tidak menuntut atau tidak meliputi perubahan secara menyeluruh. Hanya masalah-masalah sosial yang serius dalam masyarakat yang diuji ulang agar diperoleh solusi-solusi baru.
Dalam pandangan pragmatisme, kurikulum sekolah seharusnya tidak terpisahkan dari keadaan-keadaan yang riil dalam masyarakat. Dalam pendidikan materi pelajaran adalah alat untuk memecahkan masalah-masalah individual, dan siswa secara perorangan ditingkatkan atau direkonstruksi, dan secara bersamaan masyarakat dikembangkan. Karena itu masalah-masalah masyarakat demokratis harus menjadi bentuk dasar kurikulum dan makna pemecahan ulang masalah-masalah lembaga demokratis juga harus dimuat dalam kurikulum. Karena itu kurikulum harus menjadi :
·         Berbasis pada masyarakat;
·         Lahan praktek cita-cita demokratis;
·         Perencanaan demokratis pada setiap tingkat pendidikan;
·         Kelompok batasan tujuan-tujuan umum masyarakat;
·         Bermakna kreatif untuk pengembangan keterampilan-keterampilan baru;
·         Kurikulum berpusat pada siswa (pupil/child centered) dan berpusat pada aktifitas (activity cenetred). Selain itu perlu dicatat bahwa kurikulum pendidikan pragmatisme diorganisasi secara interdisipliner, dengan kata lain kurikulumnya bersifat terpadu, tidak merupakan mata pelajaran-mata pelajaran yang terpisah-pisah.
Sejalan dengan uraian diatas, Edward J.Power (1982) menyimpulkan bahwa kurikulum pendidikan pragmatisme berisi pengalaman-penglaman yang telah teruji, yang sesuai dengan kebutuhan dan minat siswa. Adapun kurikulum tersebut mungkin berubah.
E.       Metode Pembelajaran dalam Pendidikan Menurut Filsafat Pragmatisme


Sebagaimana dikemukakan Callahan and Clark (1983), penganut eksperimentalisme atau pragmatisme mengutamakan penggunaan metode pemecahan masalah (Problem Solving Method) serta metode penyelidikan dan penemuan (Inquiry and Discovery Method). Dalam prakteknya (mengajar), metode ini membutuhkan guru yang memiliki sifat berikut: permissive (pemberi kesempatan), friendly (bersahabat), a guide (seorang pembimbing), open minded (berpandangan terbuka), enthusiastic (bersifat antusias), creative (kreatif), social aware (sadar bermasyarakat), alert (siap siaga), patien (sabar), cooperative dan sincere (bekerja sama dan ikhlas atau bersungguh-sungguh). semoga bermanfaat))

Tidak ada komentar:

Posting Komentar