Minggu, 29 November 2015

Pragmatisme Dalam Pendidikan

1. Tujuan Pendidikan
Filsuf paragmatisme berpendapat bahwa pendidikan harus mengajarkan seseorang tentang bagaimana berfikir dan menyesuaikan diri terhadap perubahan yang terjadi di dalam masyarakat. Sekolah harus bertujuan untuk mengembangkan pengalaman-pengalaman yang akan memungkinkan seseorang terarah kepada kehidupan yang baik. Tujuan-tujuan pendidikan tersebut meliputi
· Kesehatan yang baik
· Keterapilan-keterampian dan kejujuran dalam bekerja
· Minat dan hobi untuk kehidupan yag menyenangkan
· Persiapan untuk menjadi orang tua
· Kemampuan untuk bertransaksi secara efektif dengan masalah-masalah sosial
Tambahan tujuan khusus pendidikan di atas yaitu untuk pemahaman tentang pentingnya demokrasi. Menurut pragmatisme pendidikan hendaknya bertujuan menyediakan pengalaman untuk menemukan/memecahkan hal-hal baru dalam kehidupan peribadi dan kehidupan sosial.

2. Kurikulum
Menurut para filsuf paragmatisme, tradisis demokrasi adalah tradisi memperbaiki diri sendiri (a self-correcting trdition). Pendidikan berfokus pada kehidupan yang aik pada masa sekarang dan masa yang akan datang. Kurikilum pendidikan pragmatisme “berisi pengalaman-pengalaman yang telah teruji, yang sesuai dengan minat dan kebutuhan siswa. Adapun kurikulum tersebut akan berubah”.

3. Metode Pendidikan
Ajaran pragmatisme lebih mengutamakan penggunaan metode pemecahan masalah (problem solving method) serta metode penyelidikan dan penemuan (inquiri and discovery method). Dalam praktiknya (mengajar), metode ini membutuhkan guru yang memiliki sifat pemberi kesempatan, bersahabat, seorang pembimbing, berpandangan terbuka, antusias, kreatif, sadar bermasyarakat, siap siaga, sabar, bekerjasama, dan bersungguh-sungguh agar belajar berdasarkan pengalaman dapat diaplikasikan oleh siswa dan apa yang dicita-citakan dapat tercapai.

4. Peranan Guru dan Siswa
Dalam pembelajaran, peranan guru bukan “menuangkan” pengetahuanya kepada siswa. Setiap apa yang dipelajari oleh siswa haruslah sesuai dengan kebutuhan, minat dan masalah pribadinya. Pragmatisme menghendaki agar siswa dalam menghadapi suatu pemasalahan, hendaknya dapat merekonstruksi lingkungan untuk memecahkan kebutuhan yang dirasakannya.
Untuk membantu siswa guru harus berperan:
a. Menyediakan berbagai pengalaman yang akan memuculkan motivasi. Field trips, film-film, catatan-catatan, dan tamu ahli merupakan contoh-contoh aktivitas yang dirancang untuk memunculkan minat siswa.
b. Membimbing siswa untuk merumuskan batasan masalah secara spesifik
c. Membimbing merencanakan tujuan-tujuan individual dan kelompok dalam kelas guna memecahkan suatu masalah
d. Membantu para siswa dalam mengumpulkan informasi berkenaan dengan masalah.
e. Bersama-sama kelas mengevaluasi apa yang telah dipelajari, bagaimana mereka mempelajarinya, dan informasi baru yang ditemukan oleh setiap siswa.
Edward J. Power (1982) menyimpulkan pandangan pragmatisme bahwa “Siswa merupakan organisme rumit yang mempunyai kemampuan luar biasa untuk tumbuh, sedangkan guru berperan untuk memimpin dan membimbing pengalaman belajar tanpa ikut campur terlalu jauh atas minat dan kebutuhan siswa”.

Callahan dan Clark menyimpulkan bahwa orientasi pendidikan pragmatisme adalah progresivisme. Artinya, pendidikan pragmatisme menolak segala bentuk formalisme yang berlebihan dan membosankan dari pendidikan sekolah yang tradisional. Anti terhadap otoritarianisme dan absolutisme dalam berbagai bidang kehidupan.

Pandangan Epistemologi Essensialisme

     Pandangan Epistemologi Essensialisme



Teori kepribadian manusia sebagai refleksi Tuhan adalah jalan untuk mengerti epistemologi essensialisme.
  Kontraversi Jasmaniah Rohaniah
Perbedaan idealisme realisme adalah karena yang pertama menganggap bahwa rohani adalah kunci kesadaran tentang realita.Bagi sebagian penganut realisme,pikiran itu adalah jasmaniah sifatnya yang tunduk kepada hukum-hukum phisis.
Konsekuensinya kedua unsur rohani dan jasmani adalah realita kepribadian manusia.Untuk mengerti manusia,baik filosofis maupun ilmiah haruslah melalui hal tersebut dan pendekatan rangkap yang sesuai dalam pelaksanaan pendidikan.

2.      Pendekatan (Approach) Idealisme pada Pengtahuan
a.  Kita hanya mengerti rohani kita sendiri,tetapi pengertian ini memberi kesadaran untuk mengerti realita yang lain.Sebab kesadaran kita,rasio manusia adalah bagian dari pada rasio Tuhan yang maha sempurna.
b.  Menurut T.H Green,approach personalisme itu hanya melalui introspeksi.Padahal manusia tidak mungkin mengetahui sesuatu hanya dengan kesadaran jiwa tanpa adanya pengamatan.Karena itu setiap pengalaman mental pasti melalui refleksi antara macam-macam pengamalan.
c. Dalam filsafat religious yang modern,ada teori mengatakan bahwa apa yang dimengerti tentang sesuatu adalah karena resonansi pengertian Tuhan.

3.      Pendekatan (Approach) Realisme pada Pengetahuan
Terdapat beberapa pendekatan realisme pada pengetahuan,yakni :
a.      Menurut Teori Asosiasionisme
Teori ilmu jiwa asosiasi dipengaruhi oleh filsafat empirisme John Locke.Pikiran atau ide-ide serta isi jiwa adalah asosiasi unsur-unsur penginderaan dan Pengamatan.
b.      Menurut Teori Behaviorisme
Aliran ini berkwsimpulan bahwa perwujudan kehidupan mental tercermin pada tingkah laku,sebab manusia sebagai suatu organisme adalah totalitas mekanisme biologis.Menurut Behaviorisme,masalah pengetahuan (yang dapat ditanggap manusia) tidak dapat dipisahkan dari proses penanaman kondisi.
a.      Menurut Teori Koneksionisme
Teori ini menyatakan semua makhluk,termasuk manusia terbentuk (tingkah lakunya) oleh pola-pola connections between (hubungan-hubungan antara) stimulus dan respon.Di samping koneksionisme dapat meletakkan pandangan yang lebih meningkat dari assosianisme dan behaviorisme juga menunjukkan bahwa dalam hal belajar perasaan yang dimiliki oleh manusia mempunyai peranan terhadap berhasil tidaknya belajar yang dilakukan.

4.      Tipe Epistimologi Realisme
Terdapat beberapa tipe epistemologi realisme.Di Amerika ada dua tipe yang utama, yaitu:
a.      Neoralisme
Secara psikologi neoralisme lebih erat dengan behaviorisme.Baginya pengetahuan diterima,ditanggap langsung oleh pikiran dunia realita.
b.      Cretical Realisme
Aliran ini menyatakan bahwa media antara intelek dengan realita adalah seberkas penginderaan dan pengamatan.

ALIRAN IDEALISME


1 .Pengertian dan konsep dasar
Tokoh aliran idealisme adalah Plato (427-374 SM), murid Sokrates. Aliran idealisme merupakan suatu aliran ilmu filsafat yang mengagungkan jiwa. Menurutnya, cita adalah gambaran asli yang semata-mata bersifat rohani dan jiwa terletak di antara gambaran asli (cita) dengan bayangan dunia yang ditangkap oleh panca indera. Pertemuan antara jiwa dan cita melahirkan suatu angan-angan yaitu dunia idea. Aliran ini memandang serta menganggap bahwa yang nyata hanyalah idea. Idea sendiri selalu tetap atau tidak mengalami perubahan serta penggeseran, yang mengalami gerak tidak dikategorikan idea.
Keberadaan idea tidak tampak dalam wujud lahiriah, tetapi gambaran yang asli hanya dapat dipotret oleh jiwa murni. Alam dalam pandangan idealisme adalah gambaran dari dunia idea, sebab posisinya tidak menetap. Sedangkan yang dimaksud dengan idea adalah hakikat murni dan asli. Keberadaannya sangat absolut dan kesempurnaannya sangat mutlak, tidak bisa dijangkau oleh material
Plato yang memiliki filsafat beraliran idealisme yang realistis mengemukakan bahwa jalan untuk membentuk masyarakat menjadi stabil adalah menentukan kedudukan yang pasti bagi setiap orang dan setiap kelas menurut kapasitas masing -masing dalam masyarakat sebagai keseluruhan.
Berkaitan dengan kebenaran tertinggi, dengan doktrin yang terkenal dengan istilah ide, Plato mengemukakan bahwa dunia ini tetap dan jenisnya satu, sedangkan ide tertinggi adalah kebaikan. Tugas ide adalah memimpin budi manusia dalam menjadi contoh bagi pengalaman. Siapa saja yang telah menguasai ide, ia akan mengetahui jalan yang pasti, sehingga dapat menggunakan sebagai alat untuk mengukur, mengklasifikasikan dan menilai segala sesuatu yang dialami sehari-hari.
Idealisme adalah aliran filsafat yang memandang bahwa kenyataan (realita) yang ada dalam kehidupan alam bukanlah suatu kebenaran yang hakiki, melainkan hanya gambaran dari ide-ide yang ada didalam jiwa atau spirit manusia.
Idealisme berorientasi kepada ide-ide, kepada jiwa, kepada spiritualitas, kepada hal-hal yang ideal (serba cita), kepada norma-norma yang mengandung kebenaran muthlak dan kesedian berkorban serta kepada personalitas (kepribadian) manusia.
Dalam idealisme terbagi dua realitas yaitu
a.      Yang tampak: apa yang kita alami setiap hari,yang mengakami perubahan, dimana ada dua kutub yang saling berlawanan. Disini terdapat ketidaksempurnaan, ketidakteraturan, alam kesulitan
b.     Alam realitas: merupakan alam yang ideal, sejati dan murni dan adanya keteraturan.
Dari kedua alam tersebut nyatalah bahwa alam ideal merupakan yang berisi kemutlakan, sejati, murni, dan suci. Tetapi, alam ini sangat berbeda dari yang tampak, dimana dalam ala mini kesempurnaan bertahta, yang tidak perlu mengalami perubahan. Penetapan ini menyatakan bahwa alam pikiran itu lebih tinggi daripada alam dunia.

2. Dunia sebagai idea
Hegel berpendapat bahwa segala realitas adalah perlombaan yang bergerola yang bergerak dari macam pertentangan seperti siang dan malam. Pertentangan ini merupakan wujud dari dialektika alam ( yang muncul berulang kali dalam sifat dan alam manusia). Menurt hegel, setiap idea plato mempunyai anti thesisnya sendiri, idea bukan hanya tempat statis melainkan bergerak. Hegel memakai tiga thesis yaitu: Antithesis synthesis menerangkan apa yang dimaksudkan. Contohnya seseorang hidup untuk dirinya sendiri, dan diadu dengan antithesinya yaitu bahwa seseorang tidak bisa hidup tanpa orang lain. Ini menimbulkan pemecahan masalah(synthesis). Yang bunyinya:seseorang bisa memenuhi hidupnya dengan memenuhi tanggung jawab terhadap orang lain. Dengana cara ini kita akan dapat memahami sejarah dengan baik, kata hegel.
Paham filsafat idealisme pada abad ke-20 ini berpengaruh besar dikalangan ahli piker Jerman, sehingga muncullah bermacam-macam idealisme yang mempunyai corak khusus berupa:
a.      Idealisme subjektif yang beranggapan bahwa individu manusia itulah yang menjadi produsen (penghasil) dari pada kenyataan. Roh manusialah yang menentukan proses kenyataan itu. Tokoh nya adalah Berkely.
b.     Idealisme objektif yang beranggapan bahwa roh manusia hanyalah merupakan bagian dari “roh umum” yang menggerakkan alam kenyataan ini sehingga jiwa individual itu tidak berfungsi lagi dalam proses timbulnya kenyataan itu, karena roh umum iti bersifat transedental (menembus,mengatasi segalanya) atau disebut oleh Imanuel Kant sebagai Buswastein uber haupt yang bersifat boven individual. Jiwa individual lenyap dalam roh umum itu.
c.      Idealisme Rasionalistis yang beranggapan bahwa jiwa adalah akal pikiran manusia. Hakikat  manusia adalah kesanggupannya untuk berfikir. Aristoteles sebagi salah satu tokohnya membeda-bedakan antara jiwa vegetative, animal dan human. Jiwa human itu menunjukkan cirri khas kesanggupan manusia untuk berfikir yang disebut Nous atau budi. Tokohnya antara lain Hegel, berpendapat bahwa nous atau budi atau rohani itu bukanlah sesuatu yang dimilki oleh setiap manusia , tatpi manusia menjadi alat naous.
d.     Idealism yang Ethis yang beranggapan bahwa jiwa adalah akal yang praktis, akal teoritis dan yang etis. Tokonya anatara lain : Imanuel Kant pernah mengatakan bahwa segala sesuatu di alam semesta ini dapat diperalat kecuali manusia. Manusia sebagai makhluk berbudi merupakan tujuan bagi dirinya sendiri. Bagi Kant hokum asusila dating dari budinya sendiri bukan dari luar.
e.      Idealisme yang Aesthetis yang menyatakan bahwa kenyataan ini adalah sebagai hasil dari seni dalam arti sepenuhnya.  Juga memandang  bahwa hakikat manusia adalah persaan.Tokohnya Wilhelm Von Humboit.
f.      Idealisme Religius dalam pandangannya tentang kenyataan ini didasarkan atas ajaran agama seperti isalm, Kristen, dan yahudi. Dalam idealism ini kepercayaan menjadi hakikat manusia. Menurut Plato, manusia itu dengan erosnya senantiasa ingin menuju kearah idea-idea yang bersifat rohani. Kehidupan yang sejati hanya ditemukan dalam idea dimana Tuhan merupakan idea tertinggi. Bagi orang idealistini, manusia ini adalah makhluk tuhan yang mempunyai kemauan bebas (free will) dan bertanggung jawab atas segala perbuatannya.

3 .Idealisme dan filsafat pendidikan
Ideaisme sangat concern tentang keberadaan sekolah. Aliran inilah satu-satunya yang melakukan oposisi secara fundamental terhadap naturalisme. Pendidikan harus terus eksis sebagai lembaga untuk proses pemasyarakatan manusia sebagai kebutuhan spiritual, dan tidak sekadar kebutuhan alam semata. Gerakan filsafat idealisme pada abad ke-19 secara khusus mengajarkan tentang kebudayaan manusia dan lembaga kemanuisaan sebagai ekspresi realitas spiritual.
Bagi aliran idealisme, anak didik merupakan seorang pribadi tersendiri, sebagai makhluk spiritual. Mereka yang menganut paham idealisme senantiasa memperlihatkan bahwa apa yang mereka lakukan merupakan ekspresi dari keyakinannya, sebagai pusat utama pengalaman pribadinya sebagai makhluk spiritual. Tentu saja, model pemikiran filsafat idealisme ini dapat dengan mudah ditransfer ke dalam sistem pengajaran dalam kelas. Guru yang menganut paham idealisme biasanya berkeyakinan bahwa spiritual merupakan suatu kenyataan, mereka tidak melihat murid sebagai apa adanya, tanpa adanya spiritual. Sejak inilah paham filsafat pendidikan menjadi keyakinan bahwa realitas adalah pribadi, maka mulai saat itu dipahami tentang perlunya pengajaran secara individual.
Pendidikan idealisme untuk individual antara lain bertujuan agar anak didik bisa menjadi kaya dan memiliki kehidupan yang bermakna, memiliki kepribadian yang harmonis dan penuh warna, hidup bahagia, mampu menahan berbagai tekanan hidup, dan pada akhirnya diharapkan mampu membantu individu lainnya untuk hidup lebih baik. Sedangkan tujuan pendidikan idealisme bagi kehidupan sosial adalah perlunya persaudaraan sesama manusia. Karena dalam spirit persaudaraan terkandung suatu pendekatan seseorang kepada yang lain. Seseorang tidak sekadar menuntuk hak pribadinya, namun hubungan manusia yang satu dengan yang lainnya terbingkai dalam hubungan kemanusiaan yang saling penuh pengertian dan rasa saling menyayangi. Sedangkan tujuan secara sintesis dimaksudkan sebagai gabungan antara tujuan individual dengan sosial sekaligus, yang juga terekspresikan dalam kehidupan yang berkaitan dengan Tuhan. Kurikulum yang digunakan dalam pendidikan yang beraliran idealisme harus lebih memfokuskan pada isi yang objektif. Pengalaman haruslah lebih banyak daripada pengajaran yang textbook. Agar supaya pengetahuan dan pengalamannya senantiasa aktual.

2.1.3       Pengaruh idealisme dalam pendidikan
Dalam proses pendidikan, kaum idealis mengingikan agar pendidikan jangan hanya merupakan masalh pengembangan atau menumbuh kembangkan, melainkan harus digerakkan kearah tujuan, yaitu suatu tujuan dimana nilai telah direalisasikan kedalam bentuk yang kekal tidak terbatas.
Nilai-nilai pendidikan, menurut kaum idealis adalah penglahiran (cetusan) dari susunan atau system yang kekal abadi yang memiliki nilai-nilai dalam dirinya sendiri.
Power (1982:89) mengemukakan implikasi filsafat pendidikan idealisme sebagai berikut :
1). Tujuan Pendidikan, Pendidikan formal dan informal bertujuan membentuk karakter, dan mengembangkan bakat atau kemampuan dasar, serta kebaikan sosial
2). Kedudukan Siswa, Bebas untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan dasarnya/bakatnya.
3). Peranan Guru, Bekerja sama dengan alam dalam proses pengembangan manusia, terutama bertanggung jawab dalam menciptakan lingkungan pendidikan siswa
4). Kurikulum, Pendidikan liberal untuk pengembangan kemampuan rasional, dan pendidikan praktis untuk memproleh pekerjaan
5). Metode, Diutamakan metode dialektika, tetapi metode lain yang efektif dapat dimanfaatkan
Dalam paham aliran idealism guru berfungsi sebagai: 1) guru adalah personifikasi dari kenyataan si anak didik; (2) guru harus seorang spesialis dalam suatu ilmu pengetahuan dari siswa; (3) Guru haruslah menguasai teknik mengajar secara baik; (4) Guru haruslah menjadi pribadi terbaik, sehingga disegani oleh para murid; (5) Guru menjadi teman dari para muridnya; (6) Guru harus menjadi pribadi yang mampu membangkitkan gairah murid untuk belajar; (7) Guru harus bisa menjadi idola para siswa; (8) Guru harus rajib beribadah, sehingga menjadi insan kamil yang bisa menjadi teladan para siswanya; (9) Guru harus menjadi pribadi yang komunikatif; (10) Guru harus mampu mengapresiasi terhadap subjek yang menjadi bahan ajar yang diajarkannya; (11) Tidak hanya murid, guru pun harus ikut belajar sebagaimana para siswa belajar; (12) Guru harus merasa bahagia jika anak muridnya berhasil; (13) Guru haruslah bersikap dmokratis dan mengembangkan demokrasi; (14) Guru harus mampu belajar, bagaimana pun keadaannya.

4. Pendidikan Idealisme dalam PLS(pendidikan luar sekolah)
              Dalam PLS dikenal adanya prinsip yang digunakan tujuan program PLS pertama-tama harus difokuskan pada pembentukan karakter atau kepribadian peserta didik. Pada tahap selanjutnya program pendidikan tertuju kepada pengembangan bakat dan kebaikan sosial. Peserta didik digali potensinya untuk tampil sebagai individu berbakat/berkemampuan yang akan memiliki nilai guna bagi kepentingan masyarakat.
b.     Kurikulum pendidikan PLS dikembangkan dengan memadukan pendidikan umum dan pendidikan praktis. Kurikulum diarahkan pada upaya pengembangan kemampuan berpikir melalui pendidikan umum. Di samping itu kurikulum juga dikembangkan untuk mempersiapkan keterampilan bekerja untuk keperluan memperoleh mata pencaharian melalui pendidikan praktis.
c.      metode pendidikan dalam program PLS disusun menggunakan metode pendidikan dialektis. Meskipun demikian  setiap metode yang dianggap efektif mendorong belajar dapat pula digunakan. Pelaksanaan pendidikan cenderung mengabaikan dasar-dasar fisiologis dalam belajar.


d.     peserta didik bebas mengembangkan bakat dan kepribadiannya. Pendidikan bekerjasama dengan alam dengan proses pengembangan kemampuan ilmiah. Oleh karena itu tugas utama tenaga pendidik adalah menciptakan lingkungan yang memungkinkan peserta didik dapat belajar dengan efisien dan efektif.

Wisata Batu Quran di Sanghyang Sirah Banten

Bagi para penziarah makam atau petilasan para nenek moyang (karuhun) orang Sunda pasti tidak merasa asing dengan nama wisata Batu Quran (Cibulakan) dengan Sumur Tujuhnya (Cikoromoi) yang merupakan salah satu tempat wisata ziarah Kabupaten Pandeglang, Banten (tepatnya 20 km dari kota Pandeglang). Batu Quran ini berkaitan erat dengan nama Syekh Maulana Mansyur, seorang ulama terkenal di jaman kesultanan Banten abad ke-15.


Syekh Maulana Mansyurlah yang meninggalkan warisan berupa Batu Quran tersebut (lebih lengkapnya bisa baca disini). Tapi tahukah kalau yang ada di Cibulakan itu adalah replika dari Batu Quran yang ada di Sanghyang Sirah, Taman Nasional Ujung Kulon. Mungkin banyak orang yang belum mengetahui tentang sejarah Batu Quran yang sebenarnya. Sejarah Batu Quran di Sanghyang Sirah berkaitan erat dengan sejarah Sayidina Ali, Prabu Kian Santang dan Prabu Munding Wangi. Apa alasan Syekh Maulana Mansyur membuat replika Batu Quran tersebut ?
Mungkin orang sudah banyak mengetahui sejarah masuk Islamnya Prabu Kian Santang yang diislam oleh Sayidina Ali ketika Prabu Kian Santang melakukan perjalanan ke jazirah Arab. Setelah masuk Islam, Prabu Kian Santang kembali ke tanah Jawa di daerah Godog Suci, Garut di mana Prabu Kian Santang mengajarkan Islam kepada pengikutnya.
Sebagai orang Islam sudah tentu harus dikhitan. Karena keterbatasan pengetahuan Prabu Kian Santang maka terjadi banyak kesalahan dalam melakukan prosedur khitan. Bukan yang ujung kulit penis yang dipotong tapi dipotong sampai ke ujung-ujungnya. Bisa bayangkan pasti banyak yang meninggal dengan kesalahan tersebut. Akhirnya Prabu Kian Santang mengutus orang untuk menemui Sayidina Ali di jazirah Arab dengan tujuan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang baik dan benar tentang Khitan secara Islami.

Sanghyang Sirah (dok.pribadi)

Kemudian Sayidina Ali dan orang suruhan Prabu Kian Santang pergi ke Godog Suci untuk memberikan pelajaran cara khitan dan beberapa pengetahuan tentang Islam. Di samping itu Sayidinna Ali ingin menyerahkan Kitab Suci Al Qur’an. Sebagai orang Muslim maka sudah pasti harus berpatokan kepada Al Quran. Karena sejak bertemu pertama kali Sayidina Ali belum pernah menyerahkan kitab Al Quran kepada Prabu Kian Santang.
Ternyata sesampainya di Godog Suci, Prabu Kian Santang telah meninggalkan tempat tersebut dan pergi menemui Prabu Munding Wangi yang telah tilem di Sanghyang Sirah, Ujung Kulon untuk memberitahukan kepada ayahandanya kalau beliau telah menetapkan hati sebagai seorang muslim. Mendengar berita tersebut Sayidina Ali mengejar ke Sanghyang Sirah sebagai bentuk amanah dan perhatian agar Prabu Kian Santang mempunyai pegangan yang kuat berupa Kitab Al Quran. Masak sebagai muslim tidak memiliki Kitab Al Quran.


BANTEN GIRANG

Banten Girang adalah suatu tempat di desa Sempu, kota Serang. Letaknya sekitar 10 km di sebelah selatan pelabuhan Banten sekarang, di pinggiran kota Serang. Di tempat tersebut terdapat suatu situs purbakala, peninggalan kerajaan Sunda yang pernah ada antara tahun 932 dan 1030 Masehi.
Di Museum Nasional Indonesia di Jakarta terdapat sejumlah arca yang disebut "arca Caringin" karena pernah menjadi hiasan kebun asisten-resisten Belanda di tempat tersebut. Arca tersebut dilaporkan ditemukan di Cipanas, dekat kawah Gunung Pulosari, dan terdiri dari satu dasar patung dan 5 arca berupa Shiwa Mahadewa, Durga, Batara Guru, Ganesha dan Brahma. Coraknya mirip corak patung Jawa Tengah dari awal abad ke-10. Oleh karena itu, Gunung Pulosari dikaitkan dengan Banten Girang dan diperkirakan merupakan tempat kramat kerajaan Sunda.
Menurut Sajarah Banten, sesampai di Banten Girang, Sunan Gunung Jati dan puteranya, Hasanuddin, mengunjungi Gunung Pulosari yang saat itu merupakan tempat kramat bagi kerajaan. Di sana, Gunung Jati menjadi pemimpin agama masyarakat setempat, yang masuk Islam. Baru setelah itu Gunung Jati menaklukkan Banteng Girang secara militer. Kemudian dia menjadi raja dengan restu raja Demak. Dengan kata lain, Gunung Jati bukan mendirikan kerajaan baru, tapi merebut tahta dari kerajaan yang sudah ada, yaitu Banten Girang.

Tahun 1526 kerajaan Demak merebut pelabuhan Banten dan Banten Girang, dibantu Gunung Jati, Hasanuddin dan Ki Jongjo. Hasanuddin naik tahta, menggantikan raja yang dalam sumber Portugis dipanggil "Sanghyang" dan baru meninggal. Peristiwa ini merupakan pendirian kerajaan Banten. Hasanuddin memindahkan pusat kerajaan dari Banteng Girang ke pelabuhan Banten. Namun sampai akhir abad ke-17 Banten Girang masih dipakai sebagai tempat istirahat raja.

makam kramat kaujon singandaru banten

 makam kramat kaujon singandaru banten


Lokasi komplek makam ini terletak di Jalan Ki Uju Gg. Gozali Kaujon Serang, Luas kawasan ini makam ini sekitar 1 hektar. Di sebelah utara berbatasan dengan parit yang diduga dahulu merupakan bekas sungai. Makam Tb. Abdurrahman atau yang bergelar Pangeran Singandaru, yang diartikan “cahaya yang seperti kilat” merupakan silsilah ketujuh keturunan Sultan Hasanuddin.
Makam Tb. Abdurahman atau yang bergelar Pangeran Singandaru berada di tengah-tengah dan berada di dalam cungkup permanent berbentuk rumah.

MAKAM KAROMAH SYEIKH NAWAWI AL-BANTANI TANARA BANTEN



1.  Menjadikan Telunjuknya Lampu

Pada suatu waktu beliau pernah mengarang kitab dengan menggunakan telunjuk beliau yang dijadikan sebagai lampu, saat itu dalam sebuah perjalanan. Karena tidak ada cahaya dalam syuqduf atau rumah-rumahan, sementara aspirasi tengah kencang mengisi kepalanya. Syaikh Nawawi kemudian berdoa memohon kepada Allah Ta’ala agar telunjuk kirinya dapat menjadi lampu agar dapat menerangi jari kanannya yang digunakan untuk menulis itu. Kitab yang kemudian lahir dengan nama Marâqi al-‘Ubudiyyah syarah Matan Bidâyah al-Hidayah itu harus dibayar beliau dengan cacat pada jari telunjuk kirinya. Cahaya yang diberikan Allah pada jari telunjuk kiri beliau itu membawa bekas yang tidak hilang.

2. Melihat Ka'bah Dengan Telunjuknya

Karomah beliau yang lain juga diperlihatkannya di saat mengunjungi salah satu masjid di Jakarta yakni Masjid Pekojan. Masjid yang dibangun oleh salah seorang keturunan cucu Rasulullah saw Sayyid Utsmân bin ‘Agîl bin Yahya al-‘Alawi. Masjid Ulama dan Mufti Betawi itu ternyata memiliki kiblat yang salah. Padahal yang menentukan kiblat bagi mesjid itu adalah Sayyid Utsmân sendiri. 

Aliran Esensialisme

1.            Aliran Esensialisme

A.    Hakikat dan Prinsip Esensialisme
Filsafat Esensialisme adalah pendidikan yang didasarkan pada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awak peradaban umat manusia. Esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama yang memberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas.
Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa prinsp-prinsip Esensialisme adalah :
Esesialisme berakar pada ungkapn realisme objektif dan idealisme objektif  yang modern, yaitu alam semesta diatur oleh hokum alam sehingga tugas manusia memahami hokum alam adalah dalam rangka penyesuaian diri dan pengelolaannya.
Sasaran pendidikan adalah mengenalkan siswa pada karakter alam dan warisan budaya. Pendidikan harus dibangun atas nilai-nilai yang kukuh, tetap dan stabil.
Nilai kebenaran bersifat korespondensi, berhubungan antara gagasan fakta secara objektif.
Bersifat konservatif ( pelestarian budaya ) dengan merfleksikan humanisme klasik yang berkembang pada zaman renaissance.

  2. Aliran Perenialisme

A.    Tempat Asal Aliran Perenialisme Dikembangkan
Di zaman kehidupan modern ini banyak menimbulkan krisis diberbagai bidang kehidupan manusia, terutama dalam bidang pendidikan. Untuk mengembalikan keadaan krisis ini, maka perenialisme memberikan jalan keluar yaitu berupa kembali kepada kebudayaan masa lampau yang dianggap cukup ideal dan teruji ketangguhannya. Untuk itulah pendidikan harus lebih banyak mengarahkan pusat perhatiannya kepada kebudayaan ideal yang telah teruji dan tangguh.
Jelaslah bila dikatakan bahwa pendidikan yang ada sekarang ini perlu kembali kepada masa lampau, karena dengan mengembalikan keadaan masa lampau ini,kebudayaan yang dianggap krisis ini dapat teratasi melalui perenialisme karena ia dapat mengarahkan pusat perhatiannya pada pendidikan zaman dahulu dengan sekarang. Perenialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali atau proses mengembalikan keadaan sekarang. Perenialisme memberikan sumbangan yang berpengaruh baik teori maupun peraktek bagi kebudayaan dan pendidikan zaman sekarang.
Dari pendapat ini sangatlah tepat jika dikatakan bahwa perenialisme memandang pendidikan itu sebagai jalan kembali yaitu sebagai suatu proses mengembalikan kebudayaan sekarang ( zaman modern ) ini terutama pendidikan zaman sekarang ini perlu dikembalikan ke masa lampau .
Perenialisme merupakan aliran filsafat yang susunannya mempunyai kesatuan, dimana susunannya itu merupakan hasil pikiran yang memberikan kemungkinan bagi seseorang untuk bersikap tegas dan lurus. Karena itulah perenialisme berpendapat bahwa mencari dan menemukan arah tujuan yang jelas merupakan tugas yang utama dari filsafat khususnya filsafat pendidikan .
Setelah perenialisme menjadi terdesak karena perkembangan politik industri yang cukup berat timbullah usaha untuk bangkit kembali, dan perenialisme berharap agar manusia kini dapat memahami ide dan cita filsafatnya yang menganggap filsafat sebagai suatu azas yang komprehensif perenialisme dalam makna filsafat sebagai satu pandangan hidup yang berdasarkan pada sumber kebudayaan dan hasil-hasilnya.

B.     Tokoh-Tokoh Aliran Perenialisme

1.      Aristoteles
Filsafat perenialisme terkenal dengan bahasa latinnya Philosofhia Perenis. Pendiri utama dari aliran filsafat ini adalah Aristoteles sendiri, kemudian didukung dan dilanjutkan St. Thomas Aquinas sebagai pemburu dan reformer utama dalam abad ke-13.
Perenialisme memandang bahwa kepercayaan-kepercayaan aksiomatis zaman kuno dan abad pertengahan perlu dijadikan dasar penyusunan konsep filsafat dan pendidikan zaman sekarang. Sikap ini bukanlah nostalgia ( rindu akan hal-hal yang sudah lampau semata-mata ) tetapi telah berdasarkan keyakinan bahwa kepercayaan-kepercayaan tersebut berguna bagi abad sekarang.
Jika sikap untuk kembali kemasa lampau itu merupakan konsep bagi perenialisme dimana pendidikan yang ada sekarang ini perlu kembali kemasa lampau dengan berdasarkan keyakinan bahwa kepercayaan itu berguna bagi abad sekarang ini.

C.    Pandangan Perenialisme Dan Penerapanya Dibidang Pendidikan

Ilmu pengetahuan merupakan filsafat yang tertinggi menurut perenialisme, karena dengan ilmu pengetahuanlah seseorang dapat berpikir secara induktif yang bersifat analisa. Jadi dengan berpikir maka kebenaran itu akan dapat dihasilkan melalui akal pikiran. Menurut epistimologi thomisme sebagian besarnya berpusat pada pengolahan tenaga logika pada pikiran manusia. Apabila pikiran itu bermula dalam keadaan potensialitas, maka dia dapat dipergunakan untuk menampilkan tenaganya secara penuh.
Jadi epistimologi dari perenialisme, harus memiliki pengetahuan tentang pengertian dari kebenaran yang sesuai dengan realita hakiki, yang dibuktikan dengan kebenaran yang ada pada diri sendiri dengan menggunakan tenaga pada logika melalui hukum berpikir metode deduksi, yang merupakan metode filsafat yang menghasilkan kebenaran hakiki.
Dengan pengetahuan, bahan penerangan yang cukup, orang akan mampu mengenal faktor-faktor dengan pertautannya masing-masing memahami problema yang perlu diselesaikan dan berusaha untuk mengadakan penyelesaian masalahnya. Dengan demikian ia telah mampu mengembangkan suatu paham.
Anak didik yang diharapkan menurut perenialisme adalah mampu mengenal dan mengembangkan karya-karya yang menjadi landasan pengembangan disiplin mental. Karya-karya ini merupakan buah pikiran tokoh-tokoh besar dimasa lampau. Berbagai buah pikiran mereka yang oleh zaman telah dicatat menonjol dalam bidang-bidang seperti bahasa dan sastra, sejarah, filsafat, politik, ekonomi, matematika, ilmu pengetahuan alam dan lain-lainnya, telah banyak yang mampu memberikan ilmunisasi zaman yang sudah lampau.

Dengan mengetahui tulisan yang berupa pikiran dari para ahli yang terkenal tersebut, yang sesuai dengan bidangnya maka anak didik akan mempunyai dua keuntungan yakni :

1.      Anak akan mengetahui apa yang terjadi pada masa lampau yang telah dipikirkan oleh orang-orang besar.
2.      Mereka telah memikirkan peristiwa-peristiwa dan karya-karya tokoh tersebut untuk diri sendiri dan sebagai bahan pertimbangan ( reverensi ) zaman sekarang.

Jelaslah bahwa dengan mengetahui dan mengembangkan karya-karya buah pikiran para ahli tersebut pada masa lampau, maka anak-anak didik dapat mengetahui bagaimana pemikiran para ahli tersebut pada masa lampau, maka anak-anak didik dapat mengetahui bagaimana peristiwa pada masa lampau tersebut sehingga dapat berguna bagi mereka sendiri, dan sebagai bahan pertimbangan pemikiran mereka pada zaman sekarang ini. Hal inilah yang sesuai dengan aliran filsafat perenialisme tersebut.
Tugas utama pendidikan adalah mempersiapkan anak didik kearah kemasakan. Masak dalam arti hidup akalnya. Jadi akal inilah yang perlu mendapat tuntunan ke arah kemasakan tersebut. Sekolah rendah memberiakn pendidikan dan pengetahuan serba dasar. Dengan pengetahuan yang tradisional seperti membaca, menulis dan berhitung anak didik memperoleh dasar penting bagi pengetahuan-pengetahuan yang lain.

Sekolah sebagai tempat utama dalam pendidikan yang mempersiapkan anak didik ke arah kemasakan melalui akalnya dengan memberikan pengetahuan. Sedangkan sebagai tugas utama dalam pendidikan adalah guru-guru, di mana tugas pendidikanlah yang memberikan pendidikan dan pengajaran ( pengetahuan ) kepada anak didik. Faktor keberhasilan anak dalam akalnya sangat tergantung kepada guru, dalam arti orang yang telah mendidik dan mengajarkan.

Aliran Eksistensialisme Dengan Pendidikan

Pengertian Aliran Filsafat Eksistensialisme.


                    Eksistensialisme adalah salah satu pendatang barU dalam dunia filsafat. Eksistensialisme hampir sepenuhnya merupakan produk abad XX. Kata "eksistensi" menurut Save M. Dagun, berasal dari bahasa Latin yaitu "Existere ", kata "Ex" yang berarti keluar dan kata "Sitere" yang berarti membuat berdiri. Jadi eksistensialisme berarti apa yang ada, apa yang memiliki aktualitas, apa saja yang dialami. Lebih lanjut Titus  menjelaskan bahwa eksistensialisme adalah aliran filsafat yang melukiskan dan mendiagnosa kedudukan manusia yang sulit. Titik sentralnya adalah manusia Menem Eksistensialise, hakekat manusia terletak dalam eksistensi dan aktivitasnya..[1] Menurut Heideggard eksistensi barasal dari kata "Das wesen das desains liegh in seiner Existentz" kata da-sein tersusun dari dad an sain. Kata "da" yang berarti disana, dan kata "sein" berarti berada. Yang berarti manusia sadar dengan tempatnya. Sedangkan menurut Parkay aliran eksistensialisme terbagi menjadi dua yaitu bersifat theistik (bertuhan) dan atheis. Dalam aliran eksistensialisme ada dua jenis filsafat trad;sional yaitu filsafat spekulatif (yang menyatakan bahwa pengalaman tidak banyak berpengaruh pada individu, dan filsafat skeptif (yang menyatakan bahwa semua pengalaman adalah palsu tidak ada sesuatu yang dapat kita kenal dari realita, menurut mereka metafisika adalah sementara). Dari pemyataan diatas eksistensialisme merupakan yang secara khusus mendeskripsikan eksistensi dan pengalaman manusia dengan metodologi fenomenologi (cara manusia berada).
Eksistensialisme juga merupakan suatu reaksi terhadap materialisme dan idealisme. Pendapat materialisme terhadap manusia adalah manusia merupakan benda dunia, manusia adalah materi, dan manusia adalah sesuatu yang ada tanpa menjadi subyek. Sedangkan pandangan manusia menurut idealisme manusia hanya sebagai subyek atau hanya sebagai suatu kesadaran. Eksistensialisme beryakinan bahwa paparan manusia harus dipangkalkan eksistensi, sehingga aliran eksistensialisme penuh dengan lukisan-lukisan yang kongrit
 Menurut Callahan filsafat pendidikan Eksistensialisme berpendapat bahwa kenyataan atau kebenaran adalah eksistensi atau adanya individu manusia itu sendiri. Adanya manusia di dunia ini tidak punya tujuan dan kehidupan menjadi terserap karena ada manusia. Manusia adalah bebas. Akan menjadi apa orang itu ditentukan oleh keputusan dan komitmennya sendiri.
 Jadi dari uraian diatas eksistensialisme adalah aliran yang berpendirian (pada umumnya) bahwa filsafat harus bertitik tolak pada manusia yang kongrit, yaitu manusia sebagai existensi itu mendahului essensi.
Eksistensialisme adalah suatu penolakan terhadap suatu pemikiran abstrak, tidak logic atau tidak ilmiyah. Eksistensialisme menolak bentuk kernutlakan rasional.
Paham eksistensisialisme bukan hanya satu, melainkan terdiri dari berbagai pandangan yang berbeda-beda. Namun demikian, pandangan- pandangan tersebut memiliki beberapa persamaan sehingga mereka dapat dikatakan filsafat eksistensialisme. Persamaan-persamaan tersebut dikemukakan oleh Harun Hadiwijono sebagai berikut:
a.       Motif pokok ialah apa yang disebut eksistensi, yaitu cara khas manusia berada.
b.      Bereksistensi harus diartikan secara dinamis.
c.       Dalam filsafat eksistensialisme manusia dipandang sebagai terbuka
d.      Filsafat eksistensialisme memberi tekanan kepada pengalaman yang kongret, pengalaman yang eksistensial.
Berbicara tentang nilai, eksistensialisme menekankan kebebasan terhadap tindakan. Tetapi seseorang harus mampu menciptakan tujuannya. Apabila seseorang menerima tujuan kelompok, ia harus menjadikan tujuan tersebut menjadi miliknya. Dengan ketentuan bahwa setiap situasi tujuan tersebut merupakan tujuan yang harus dicapai. Jadi tujuan itu diperoleh dalam situasi.
Dari sekian banyak pengertian diatas garis besar aliran eksistensialisme ini berkeyakinan bahwa segala sesuatu dimulai dari pengalaman pribadi, kenyakinan yang tumbuh dari dirinya dan kemampuan serta keluasaan jalan untuk mencapai keinginan hidupnya. Titik sentralnya manusia itu sendiri.

v  KONSEP TUJUAN DALAM PENDIDIKAN.
1.      Pengertian tujuan pendidikan.
Secara sederhana, tujuan dalam bahasa. Inggris yaitu "goals, aims" dan dalam bahasa arab yaitu "Qoshid' yang mengandung pengertian arah atau maksud yang hendak dicapai lewat upaya atau aktivitas. Dengan adanya tujuan, semua aktivitas dan gerak manusia menjadi terarah dan bermakna. Dengan adanya tujuan, semua aktivitas dan gerak manusia menjadi terarah dan bermakna. Tanpa tujuan, semua aktivitas dan gerak manusia menjadi terarah dan bermakna. Tanpa tujuan, semua aktifitas manusia akan kabur dan terombang ambing. Dengan demikian, seluruh karya dan karsa manusia, harus memiliki orientasi tertentu.[19] Tujuan Pendidikan adalah hat pertama dan terpenting bila kita merancang, membuat program, serta mengevaluasi pendidikan. Program pendidikan 100% ditentukan oleh rumusan tujuan. Tujuan pendidikan akan sama dengan gambaran umum manusia terbaik menurut prang tertentu.[20] Menurut John Dewey menyebutkan 3 kriteria tentang tujuan yang baik antara lain:
a.       Tujuan yang telah ada mestinya menciptakan perkembangan lebih baik daripada kondisi-kondisi yang telah ada sebelumnya.
b.      Tujuan itu harus bersifat fleksibel.
c.       Tujuan itu harus mewakili kebebasan aktivitasnya.[21]
Dalam proses kependidikan, tujuan akhir merupakan tujuan umum atau tujuan tertinggi yang hendak dicapai. Tujuan itu mengingat kompleksitasnya secara teoritis dapat dibedakan menjadi:
a)      Tujuan Normatif yaitu tujuan yang harus dicapai berdasarkan kaidah- kaidah (norma-norma).
b)      Tujuan Fungsional, bersasaran pada kemampuana anak didik untuk mernfungsionalkan kognitif, afektif, dan psikomotor.
c)      Tujuan Operasioanl, mempunyai teknis manajerial.[22]

2.      Tujuan pendidikan Islam
Dalam merumuskan tujuan pendidikan Islam, paling tidak ada beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain:
a)      Tujuan dan tugas manusia dimuka bumi, baik secara vertikal maupun horizontal.
b)      Sifat dasar manusia.
c)      Tuntutan masyarakat dan dinamika peradapan kemanusiaan.
d)     Dimensi-dimensi kehidupan ideal masyarakat.
Secara praktis, menurut Muhammad Athiyah Al-Abrasyi, menyimpulkan bahwa tujuan pendidikan Islam terdiri atas 5 sasaran yaitu: (1) membentuk akhlak yang mulia (2) mempersiapkan kehidupan dunia akhirat (3) persiapan untuk mencari rizki dan memelihara segi kemanfaatannya (4) menumbuhkan semangat ilmiah di kalangan peserta didik (5) mempersiapkan tenaga profesioanal yang terampil.
Dari rumusan di atas, dapat dipahami bahwa tujuan pendidikan Islam merupakan proses membimbing dan membina fitrah peserta didik secara maksimal dan bermuara pada pribadi peserta didik sebagai insan al-kamil.[23]
Aspek-aspek Tujuan Pendidikan Islam.
Dalam berkaitan dengan pendidikan Islam, perumusan tujuan pendidikan harus berorientasi pada 4 aspek yaitu:
Ø  Berorientasi pada tujuan dan tugas pokok manusia.
Ø  Berorientasi pada sifat dasar (nature) manusia.
Ø  Berorientasi pada tuntutan masyarakat dan zaman.
Ø  Orientasi kehidupan ideal Islami.
Secara eksplisit, pengembangan aspek-aspek tersebut, dapat dideskripsikan sebagai: (1) Tujuan Jasmaniah (Ahdaf Al-Jismiyyat) (2) Tujuan Rohaniyah (Ahdaf Al-Ruhiyyat) (3) Tujuan Rohaniyah (AhdafAl-Aqliyat).[24]
Menurut Oemar Hamalik mengemukakan pendidikan bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik yang mengcakup pengetahuan (kognitil) sikap (efektif) keterampilan (skill) perilaku hasil tindakan, serta pengalaman exploratis (pengalaman lapangan).
Kalangan Eksistensialisme “terganggu” akan apa yang mereka dapatkan pada kemapanan pendidikan. Mereka dengan segera menegaskan bahwa banyak dari apa yang disebut pendidikan sebenarnya tidaklah apa – apa kecuali propaganda yang digunakan untuk memikat audiens. Mereka juga mengungkapkan bahwa banyak dari apa yang dewasa ini dianggap pendidikan sejati adalah sesuatu yang membahayakan, karena ia menyiapkan peserta didik untuk konsumerisme atau menjadikannya sebagai tenaga penggerak dalam mesin teknologi industrial dan birokrasi modern. Bukan malah mengembangkan individualitas dan kreativitas, keluh kalangan eksistensialis, banyak pendidikan justru memusnahkan sifat – sifat kemanusiaan yang pokok tadi.

Van Cleve Morris berpendapat bahwa perhatian utama pandangan pendidikan kalangan Eksistensialisme adalah pada upaya membantu kedirian individu untuk sampai pada realisasi yang lebih utuh menyangkut preposisi berikut:
1.            Aku adalah subjek yang memilih, tidak bisa menghindari caraku menjalani hidup
2.            Aku adalah subjek yang bebas, sepenuhnya bebas untuk mencanangkan tujuan –tujuan kehidupanku sendiri
3.            Aku adalah subjek yang bertanggung jawab, secara pribadi mempertanggungjawabkan akan pilihan – pilihan bebasku karena hal itu terungkapkan dalam bagaimana aku menjalani kehidupanku.
Eksistensialisme sangat berhubungan erat dengan pendidikan karena pusat pemikiran eksistensialisme adalah “keberadaan” manusia, sedangkan pendidikan hanya dilakukan oleh manusia. Penerapan filsafat eksistensialisme dalam komponen pendidikan antara lain :

a)            Tujuan pendidikan
Menurut aliran eksistensialisme, tujuan pendidikan adalah untuk mendorong setiap individu agar mampu mengembangkan semua potensinya untuk pemenuhan diri. Memberikan bekal pengalaman yang luas dan komprehensif kepada para siswa dalam semua bentuk kehidupan.

b)            Kurikullum
Eksistensialisme menyatakan bahwa kurikulum ideal adalah kurikulum yang memberikan kebebasan individual yang luas bagi para siswa agar mereka mampu untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan, melaksanakan pencarian-pencarian mereka sendiri, dan menarik kesimpulan-kesimpulan mereka sendiri. Dengan kata lain yang diutamakan adalah kurikulum liberal, yang merupakan landasan bagi kebebasan manusia.
Menurut eksistensialisme, mata pelajaran merupakan materi di mana individu akan dapat menemukan dirinya dan kesadaran akan dunianya. Menurut aliran ini, semua mata pelajaran memiliki kedudukan yang sama. Karena setiap anak membutuhkan mata palajaran yang berbeda untuk membantu menemukan dirinya.

c)            Proses belajar mengajar
Salah satu tokoh aliran eksistensialisme, Martin Buber berpandangan tentang “dialog”. Inilah yang menjadi pengaplikasian konsep belajar mengajar aliran ini. Dialog merupakan percakapan antara pribadi dengan pribadi, di mana setiap pribadi merupakan subjek bagi yang lainnya. Adapun lawan dari dialog adalah “paksaan”, di mana seseorang memaksakan kehendaknya kepada orang lain sebagai objek. Dalam penerapannya, kebanyakan proses pendidikan merupakan paksaan.
Anak dipaksa mengikuti kehendak guru, atau pengetahuan yang tidak fleksibel, di mana guru menjadi penguasanya.
Agar hubungan antara guru dengan murid menjadi suatu dialog, maka pengetahuan yang akan diberikan pada murid harus menjadi pengalaman pribadi guru itu, sehingga akan terjadi pertemuan antara pribadi dengan pribadi.

d)            Peran guru
Peran guru bagi kalangan Eksistensialisme tidaklah sebagaimana peran guru dalam paham tradisional. Guru Eksistensialisme bukanlah sosok yang mempunyai jawaban – jawaban benar tak terbantahkan. Ia lebih sebagai seseorang yang berkemauan membantu para subjek didik mengeksplorasi jawaban – jawaban yang mungkin.
Dalam kelas guru berperan sebagai fasilitator untuk membiarkan siswa berkembang menjadi dirinya dengan memberikan berbagai bentuk pajanan (exposure) dan jalan untuk dilalui. Karena perasaan tidak terlepas dari nalar, maka kaum Eksistensialisme menganjurkan pendidikan sebagai cara membentuk manusia secara utuh, bukan hanya sebagai pembangunan nalar.
Pandangan tentang pendidikan, disimpulkan oleh Van Cleve Morris dalam Existensialisme and Education, bahwa "Eksistensialisme tidak menghendaki adanya aturan-aturan pendidikan dalam segala bentuk" oleh sebab itu eksistensialisme dalam hat ini menolak bentuk-bentuk pendidikan sebagaimana yang ada sekarang.
Menurut eksistensialisme, pengetahuan kita tergantung kepada interprestasi tentang realitas. Pengetahuan yang diberikan di sekolah bukan merupakan alat untuk memperoleh pekedaan atau karier anak, melainkan pengetahuan itu dapat dijadikan alat perkembangan dan alat pemenuhan diri ini merupakan teori pengetahuan dan kebenaran eksistensialisme yang dikemukakan oleh Kneller.
·         Implementasi aliran eksistensialisme tehadap pendidikan antara lain sebagai berikut:
Ø  Aliran ini mengutamakan perorangan/ individu.
Ø  Memandang individu dalam keadaan tunggal selama hidupnya.
Ø  Aliran filsafat ini percaya akan kemampuan ilmu untuk memecahkan semua persoalannya.
Ø  Aliran ini memabatasi murid-murinya dengan buku-buku yang ditetapkan saja.[16]
Ø  Aliran ini tidak menghendaki adanya aturan-aturan pendidikan dalam segala bentuk.[17]
Sedangkan pandangan dalam filsafat islam antara lain sebagai berikut:
Ø  Dalam bidang pendidikan eksistensialisme menekankan agar masing individu diberi kebebasan mengembangkan potensinya secara maksimal tanpa adabatas (mutlak).
Ø  Prinsip kebebasan islam justru mengantarkan manusia dekat dengan tuhan.
Ø  Manusia tidak meminta tolong pada dirinya sendiri saja tetapi juga dengan kekuasaan Allah.
Ø  Kebebasan yang diberikan Islam pada manusia bukan kebebasan absolut, melainkan kebebasan yang tetap pada koridor illahi dan dipimpin oleh kebenan nilai-nilai agama.
Ø  Sebagai hamba Allah, manusia dituntut untuk selalu mengarahkan aktivitas kehidupannya pada pengabdian kepada Allah SWT dan sebagai kholifah Allah Fi AI-Ardh.

C.      KONSEP ALIRAN FLSAFAT PENDIDIKAN EKSISTENSIALISME DAN IMPLIKASINYA TERHADAP TUJUAN DALAM PENDIDIKAN
Eksistensialisme menjadi tonggak penting perkembangan pendidikan. Manusia adalah subjek bagi kehidupan, maka tidak boleh direduksi menjadi sekrup dalam mesin ilmu pengetahuan dan teknologi. Eksistensialisme memberikan pencerahan bahwa pendidikan tidak semestinya membelenggu manusia. Menurut Fasli Jalal dan Dedi Supriadi bahwa hal yang ada kesejalanan dengan acuan filosofis strategi Pendidikan nasional bahwa pendidikan nasional perlu memiliki karakteristik yang (a) mampu mengembangkan kreativitas, kebudayaan dan peradaban; (b) mendukung dimenasi nilai keunggulan; (c) mengembangkan nilai-nilai demokrasi, kemanusiaan, keadilan dan keagaman; (d) mengembangkan secara berkelanjutan kinerja kreatif dan produktif yang koheren dengan ndai-niiai moral.[26] Inti dari ajaran aliran filsafat ini adalah respek terhadap individu yang unik pada setiap orang. Eksistensi mendahului essensi kita masing-masing. Kaum eksistensi menolak filsafat-filsafat tradisional dan menolak eksistensi keberadaan ihwal metafisika, epistimologi, dan etika. Setiap individu menentukan untuk dirinya sendiri apa itu benar, salah, indah, jelek. Pendidikan seyogyanya menekankan refleksi personal yang mendalam terhadap komitmen dan pilihan sendiri. Manusia adalah essensi dirinya. Kaum eksistensialisme menganjurkan bahwa pendidikan sebagai cars membentuk manusia secara utuh, bukan hanya sebagai pembangun nalar.
Menurut Power, Uyoh Sadulloh mengetriukakan implikasi pendidikan pada filsafat Ektensialisme terhadap tujuan Pendidikan adalah mendorong individu mengembangkan potensi untuk pemenuhan diri.[28] Dalam referensi lain pandangan eksistensialisme tentang teori pendidikan yaitu tujuan pendidikan adalah siswa mengembangkan potensinya masing-masing untuk mencari jati dirinya.
Selain itu juga filsafat eksistensi dalam Pendidikan bertujuan untuk mengembangkan kesadaran individu, memberi kesempatan untuk bebas memilih etika, mendorong pengembangan pengetahuan diri sendiri, bertanggung jawab sendiri, dan mengembangkan komitmen diri.


Dari uraian di atas saya menyimpulkan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk mendorong setiap individu agar mampu mengembangkan semua potensinya untuk pemenuhan diri serta mengembangkan kemampuan peserta didik yang mencakup pengetahuan (kognitif) sikap, (efektif) keterampilan (skill) perilaku hasil tindakan, serta pengalaman exploratis (pengalaman lapangan). Sedangkan filsafat eksistensialisme merupakan suatu filsafat yang mendesripsikan bahwa Individualisme adalah pilar central dalam filsafat ini. Jadi implikasi pendidikan pada filsafat Ektensialisme terhadap tujuan Pendidikan adalah memberikan pengalaman yang luas dan komprehensif dalam semua bentuk kehidupan dalam hal ini setiap individu mempunyai eksistensi untuk dirinya supaya mengembangkan potensi dalam dirinya.



sumber :(http://kopite-geografi.blogspot.com/2013/05/aliran-eksistensialisme-dan.html)

https://ekameliyakin.wordpress.com/2013/06/26/aliran-eksistensialisme-filsafat-pendidikan/

ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN PROGRESIVISME

Dalam filsafat pendidikan dikenal beberapa aliran, antara lain Progresivisme, Esensialisme, Perenialisme dan Rekonstruksionisme.

1.       Aliran Progresivisme
Progresivisme adalah suatu gerakan dan perkumpulan yang didirikan pada tahun 1918. Aliran ini berpendapat bahwa pengetahuan yang benar pada masa kini mungkin tidak benar di masa mendatang. Pendidikan harus berpusat pada anak bukannya memfokuskan pada guru atau bidang muatan.( Oleh Tuatul Mahfud Pada Filsafat)...
Progresivisme mempunyai konsep yang didasari oleh pengetahuan dan kepercayaan bahwa manusia itu mempunyai kemampuan-kemampuan yang wajar dan dapat menghadapi dan mengatasi masalah-masalah yang bersifat menekan mengancam adanya manusia itu sendiri ( Barnadib, 1994:28 ). Oleh karena kemajuan atau progres ini menjadi suatu statemen progresivisme, maka beberapa ilmu pengetahuan yang mampu menumbuhkan kemajuan dipandang merupakan bagian utama dari kebudayaan yang meliputi ilmu-ilmu hayat, antropologi, psikologi, dan ilmu alam.
Progresivisme berpendapat tidak ada teori realita yang umum. Pengalaman menurut progresivisme bersifat dinamis dan temporal;menyala. Tidak pernah sampai pada yang paling eksterm, serta pluralistis. Menurut progresivisme, nilai berkembang terus karena adanya pengalaman-pengalaman baru antara individu dengan nilai yang telah disimpan dalam kebudayaan. Belajar berfungsi untuk mempertinggi taraf kehidupan sosial yang sangat kompleks. Kurikulum yang baik adalah kurikulum yang eksperimental, yaitu kurikulum yang setiap waktu dapat disesuaikan dengan kebutuhan.
Progresivisme merupakan pendidikan yang berpusat pada siswa dan memberi penekanan lebih besar pada kreativitas, aktivitas, belajar “naturalistik”, hasil belajar “dunia nyata”, dan juga pengalaman teman sebaya.

v Tokoh-tokoh Aliran Progresivisme
William James ( 1842-1910 )
James berkeyakinan bahwa otak atau pikiran, seperti juga aspek dari eksistensi organik, harus mempunyai fungsi biologis dan nilai kelanjutan hidup. Dan dia menegaskan agar fungsi otak atau fikiran itu dipelajari sebagai bagian dari mata pelajaran pokok dari ilmu pengetahuan alam. Jadi James menolong untuk membebaskan ilmu jiwa prakonsepsi teologis, dan menempatkannya da atas dasar ilmu prilaku.

John Dewey ( 1859-1952 )
Teori Dewey tentang sekolah adalah progresivisme yang lebih menekankan kepada anak didik dan minatnya dari pada mata pelajarannya sendiri. Maka muncullah “Cild Centered Curiculum”, dan “Cild Centered School”. Progresivisme mempersiapkan anak masa kini dibanding masa depan yang belum jelas.

Hans Vaihinger ( 1852-1933 )

Hans Vaihinger menurutnya tahu itu hanya mempunyai arti praktis. Persesuaian dengan objeknya mungkin dibuktikan, satu-satunya ukuran bagi berpikir ialah gunanya untuk mempengaruhi kejadian-kejadian didunia.


Pandangan Progresivisme dan Penerapannya di Bidang Pendidikan

               Anak didik diberikan kebebasan secara fisik maupun cara berpikir, guna mengembangkan bakat dan kemampuan yang terpendam dalam dirinya. Tanpa terhambat oleh rintangan yang dibuat oleh orang lain. Oleh karena itu aliran filsafat progresivisme tidak menyetujui pendidikan yang otoriter. Sebab, pendidikan otoriter akan mematikan tunas-tunas para pelajar untuk hidup sebagai pribadi-pribadi yang gembira menghadapi pelajaran. Dan sekaligus mematikan daya kreasi baik secara fisik maupun psikis anak didik.
             Filsafat progresivisme menghendaki jenis kurikulum yang bersifat luwes (fleksibel) dan terbuka. Jadi kurikulum itu bisa diubah dan dibentuk sesuai dengan zamannya. Sifat kurikulumnya adalah kurikulum yang dapat direvisi dan jenisnya yang memadai, yaitu yang bersifat eksperimental atau tipe Core Curriculum. Kurikulum
Dipusatkan pada pengalaman atau kurikulum eksperimental didasarkan atas manusia dalam hidupnya selalu berinteraksi didalam lingkungan yang komplek.

            Progresivisme tidak menghendaki adanya mata pelajaran yang diberikan terpisah, melainkan harus terintegrasi dalam unit. Dengan adanya mata pelajaran yang terintegrasi dalam unit, diharapkan anak dapat berkembang secara fisik mauopun psikis dan dapat menjangkau aspek kognitif, afektif, maupun psikomotor.

Aliran Rekontruksionalisme

Rekonstruksionalisme
Rekonstruksionalisme sebagaimana aliran-aliran sebelumnya juga berasal dari kosakata bahasa Inggris construction—yang artinya pembangunan, bangunan, dan tafsiran – yang mendapat imbuhan re- dan –isme. Re- berarti kembali. –isme adalah faham. Jadi rekonstruksionalisme adalah sebuah faham yang bertujuan untuk membangun kembali sesuatu yang menjadi topik bahasannya. Sedangkan dalam konteks pendidikan, aliran ini bertjuan hendak membina suatu konsensus yang paling luas dan paling mungkin tentang tujuan utama dan tertinggi dalam kehidupan manusia, dengan merombak kembali tata susunan pendidikan lama dengan tata susunan pendidikan yang sama sekali baru.

Aliran ini memiliki kesamaan dengan perenialisme dalam hal yang melatarbelakangi munculnya tori tentang pendidikan. Berbagai kerusakan yang terjadi dalam sendi kehidupan mengharuskan adanya perubahan total terhadap pendidikan. Perubahan yang dimaksud dengan merujuk pada pengertian rekonstruksionalisme di atas adalah perubahan hingga ke akar-akarnya. Perubahan yang dikehendaki adalah berubah sama sekali baru.

ALIRAN PERENNIALISME

Aliran Perennialisme
Di zaman kehidupan modern ini banyak menimbulkan krisis diberbagai bidang kehidupan manusia, terutama dalam bidang pendidikan. Untuk mengembalikan keadaan krisis ini, maka perenialisme memberikan jalan keluar yaitu berupa kembali kepada kebudayaan masa lampau yang dianggap cukup ideal dan teruji ketangguhannya.
Dikatan bahwa pendidikan yang ada sekarang ini perlu kembali pada masa lampau,karena kebudayaan yang dianggap krisis ini dapat teratasi melalui perenialisme karena ia dapat mengarahkan pusat perhatiannya pada pendidikan zaman dahulu dengan sekarang.Perenialisme merupaka aliran filsafat yang susunannya mempunyai kesatuan, dimana susunannya itu merupakan hasil pikiran yang memberika kemungkinan bagi seseorag untuk bersikap yang tegas dan lurus.
Filsafat perenialisme terkenal dengan bahasa latinnya philosophia perenis. Pendiri utama dari aliran filsafat ini adalah Aristoteles, kemudian didukung dan dilanjutkan oleh St. Thomas Aquinas. Perenialisme memandang bahwa kepercayaan-kepercayaan aksiomatis zaman kuno dan abad pertengahan perlu dijadika dasar penyusunan konsep filsafat dan pendidikan zaman sekarang.
Jadi sikap untuk kembali kemasa lampau itu merupakan konsep bagi perenialisme di mana pendidika yang ada sekarang ini perlu kembali kemasa lampau dengan berdasarkan keyakinan bahwa kepercayaan itu berguna bagi abad sekarang.\

1.      Pandangan Ontologi Perennialisme
Ontopologi perennialisme terdiri dari pengertian-pengertian seperti benda individual, esensi, aksiden, dan substansi. Perennialisma membedakan suatu realita dalam aspek-aspek perwujudannya. Benda individual disini adalah benda sebagaimana Nampak dihadapan manusia dan yang ditangkap dengan panca indera. Esesnsi dari suatu kualitas yang menjadikan atau menyebabkan benda itu lebih intrinsik dari pada halnya. Adapun aksiden adalah keadaan-keadaan khusus yang dapat berubah-ubah dan yang sifatnya kurang penting dibandingkan dengan esensial. Sedangkan substansi adalah kesatuan dari tiap-tiap individu. Segala yang ada di ala mini sperti halnya manusia, batu bangunan dasar, hewan, tumbuh-tumbuhan dan sebagainya merupakan hal yang logis dalam karakternya.
I.R Poedjawijatna mengatakan bahwa esensi dari pada kenyataan itu adalah menuju kea rah aktualitas, sehingga makin lama makin jauh dari potensialitasnya. Jadi, dengan demikian bahwa segala yang ada di ala mini terdiri dari materi dan bentuk atau badan dan jiwa yang disebut dengan substansi, bila dihubungkan dengan manusia maka manusia itu adalah potensialita yang di dalam hidupnya tidak jarang dikuasai oleh sifat eksistensi keduniaan, tidak jarang pula dimilikinya akal, perasaan dan kemauannya semua ini dapat diatasi.

2.      Pandangan Epistemologis perennialisme
Perenialisme berpendapat bahwa segala sesuatu yang dapat diketahui dan merupakan kenyataan adalah apa yang terlindung pada kepercayaan. Kebenaran adalah sesuatu yang menunjukkan kesesuaian antara piker dengan benda-benda. Pengetahuan merupakan hal yang sangat penting karena ia merupakan pengolahan akal pikiran yang konsekuen.
Menurut perenialisme filsafat yang tertinggi adalah ilmu metafisika. Sebab science sebagai ilmu pengetahuan menggunakan metode induktif yang bersifat analisa empiris kebenarannya terbatas, relative atau kebenaran probability. Ilmu pengetahuan merupakan filsafat yang tertinggi menurut perenialisme, karena dengan ilmu pengetahuanlah seseorang dapat berpikir secara induktif yang bersifat analisa. Menurut perenialisme penguasaan pengetahuan mengenai prinsip-prinsip pertama adalah modal bagi seseorang untuk mengembangkan pikiran dan kecerdasan. Dengan demikian ia telah mampu mengembangkan suatu paham.
Anak didik yang diharapkan menurut perenialisme adalah mapu mengenal dan mengembangkan karya-karya yang menjadi landasan pengembangan disiplin mental. Dengan mengetahui tulisan yang berupa pikiran dari para ahli yang terkenal, yang sesuai dengan bidangnya maka anak didik akan mempunyai dua keuntungan yakni :

1.      Anak-anak akan mengetahui apa yang terjadi pada masa lampau yang telah dipikirkan oleh orang-orang besar.
2.      Mereka memikirkan peristiwa-peristiwa penting dan karya-karya tokoh tersebut untuk diri sendiri dan sebagai bahan pertimbangan (reverensi) zaman sekarang.
Tugas utama pendidikan adalah mempersiapkan anak didik kea rah kemasakan. Sekolah sebagai tempat utama dalam pendidikan yang mempersiapkan anak didik kea rah kemasakan melalui akalnya dengan memberikan pengetahuan. Keberhasialn anak dalam akalnya sangat tergantung kepada guru, dalam arti orang yang telah mendidik dan mengajarkan.
Robert Hutehkins mengatakan bahwa manusia itu pada hakikatnya sama, maka perlulah dikembangkan pendidikan yang sama bagi semua orang, ini disebut pendidikan umum (general education). Melalui kurikulum yang satu serta proses belajar yang mungkin perlu disesuaikan dengan sifat tiap individu, diharapkan tiap individu itu terbentuk atas dasar landasan kejiwaan yang sama.

3.      Pandangan Aksiologi Perennialisme
Perenialisme memandang masalah nilai berdasarkan azas-azas supernatural, yakni menerima universal yang abadi. Masalah nilai itu merupakan hal yang utama dalam perenialisme, karena ia berdasarkan pada azas-azas supernatural yaitu menerima universal yang abadi, khususnya tingkah laku manusia.
Dalam bidang pendidikan perennialisme sangat dipengaruhi oleh tokoh-tokohnya, sperti Plato, aristoteles dan Thomas Aquinas. Menurut Plato, manusia secara kodrat memiliki btiga potensi yaitu nafsu, kemauan dan pikiran. Dengan de4mikian jelaslah bahwa perenialisme itu menghendaki agar pendidikan disesuaikan dengan keadaan manusia yang mempunyai nafsu, kemauan dan pikiran sebagaimana yang dimiliki secara kodrat. Ide-ide Plato ini kemudian dikembangkan oleh aristoteles dengan lebih mendekatkan kepada dunia kenyataan. Bagi Aristoteles tujuan pendidikan adalah “kebahagiaan”. Untuk mencapai pendidikan itu, maka aspek jasmani, emosi dan intelek harus dikembangkan secara seimbang.


Dapatlah disimpulkan bahwa tujuan dari pada pendidikan yang hendak dicapai oleh para ahli tersebut di atas adalah untuk mewujudkan agar anak didik dapat hidup bahagia demi kebaikan hidupnya sendiri. Jadi dengan akalnya dikembangkan maka dapat mempertinggi kemampuan akal pikirannya. Dari prinsip-prinsip pendidikan perenialisme tersebut naka perkembangannya telah mempengaruhi system pendidikan modern, sperti pembagian kurikulum untuk sekolah dasar, menengah, perguruan tinggi dan pendidikan orang dewasa.

Implikasi Pendidikan Aliran Filsafat Pragmatisme

A.      Tujuan Pendidikan Menurut Filsafat Pragmatisme
Filsuf pragmatisme berpendapat bahwa pendidikan harus mengajarkan seseorang tentang bagaimana berpikir dan menyesuaikan diri terhadap perubahan yang terjadi di dalam masyarakat. Sekolah harus bertujuan mengembangkan pengalaman-pengalaman tersebut yang akan memungkinkan seseorang terarah kepada kehidupan yang baik. Tujuan-tujuan pendidikan tersebut meliputi:
·       Kesehatan yang baik
·       Keterampilan-keterampilan kejuruan (pekerjaan)
·       Minat-minat dan hobi-hobi untuk kehidupan yang menyenangkan.
·       Persiapan untuk menjadi orang tua.
·       Kemampuan untuk bertransaksi secara efektif dengan masalah-masalah sosial (mampu memecahkan masalah-masalah sosial secara efektif)
Tujuan-tujuan khusus pendidikan sebagai tambahan tujuan-tujuan di atas, bahwa pendidikan harus meliputi pemahaman tentang pentingnya demokrasi. Pemerintahan yang demokratis memungkikan setiap warga negara tumbuh dan hidup melalui interaksi sosial yang memberikan tempat bersama dengan warga negara lainnya. Pendidikan harus membantu siswa menjadi warga negara yang demokratis (Callahan and Clark, 1983). Karena itu menurut pragmatisme pendidikan hendaknya bertujuan menyediakan pengalaman untuk menemukan/memecahkan hal-hal baru dalam kehidupan pribadi dan kehidupan sosialnya (Edward J. Power, 1982).
Untuk mengetahui apa yang menjadi tujuan pendidikan pragmatisme, tidak terlepas dari pandangannya tentang realitas, teori pengetahuan dan kebenaran,  serta teori nilai. Seperti telah dikemukakan, bahwa realitas merupakan interaksi manusia dengan lingkungannya. Dunia akan bermakna sejauh manusia mempelajari makna yang terkandung di dalamnya. Perubahan merupakan esensi dari realitas, dan harus siap mengubah cara-cara yang akan kita kerjakan. Mengenai kebenaran, pada prinsipnya kebeneran itu tidak mutlak, tidak berlaku umum, tidak tetap, tidak berdiri sendiri dan tidak terlepas dari akal yang mengenal. Yang ada hanya kebenaran khusus, yang setiap saat bis diubah oleh pengalaman berikutnya. Sedangkan mengenai nilai, pragmatism menganggap bahwa nilai itu relative. Kaidah-kaidah moral dan eika tidak tetap, melainkan terus berubah seperti perubahan kebudayaan dan masyarakat.
Dari uraian diatas, dapat ditafsirkan apa dan bagaimana tujuan pendidikan serta bagaimana pelaksanaan pendidikan diorganisasikan. Objektifitas tujuan pendidikan harus diambil dari masyarakat dimana si anak hidup, dimana pendidikan berlangsung, karena pendidikan berlangsung dalm kehidupan. Tujuan pendidikan tidak berada di luar kehdupan melainkan berada di dalam kehidupan sendiri. Seperti telah di uraikan bahwa esensi relaitas adalah perubahan, tidak ada kebenaran mutlak, serta nilai itu relatif, maka berkaian dengan tujuan pendidikan, menurut pragmatism tidak ada tujuan umum yang berlaku secara universal, tidak ada tujuan yang tetap ddan pasti. Yang ada hanyalah tujuan khusus belaka, tidak ada tujuan yang berlaku umum yang universal. Jadi, tujuan pendidikan tidak dapat dietapkan pada semuan masyarakat kecuali apabila terdapat hubungaan timbale balik antara masing-masing individu dalam masyarakat tersebut.
Walaupun pragmatisme tidak mengenal tujuan akhir pendidikan namun Dewey (1964:94) mengemukakan beberapa kriteria dalam menentukan tujuan pendidikan yaitu harus dihasilkan dari situasi kehidupan di sekeliling anak dan pendidik, harus fleksibel dan mencerminkan aktifitas bebas. Tujuan pendidikan, menurut pragmatisme bersifat temporer, karena tujuan itu merupakan alat untuk bertindak.  Apabila suatu tujuan telah tercapai maka hasil tujuan tersebut menjadi alat unuk mencapai tujuan berikutnya. Dengan tujuan pendidikan individu harus mampu melanjutkan pendidikan. Hasil belajar harus dapat dijadikan alat untuk tumbuh.
Beberapa karaktteristik tujuan pendidikan yang harud diperhatikan adalah:
1.    Tujuan pendidikan hendaknya ditentukan dari kegiatan yang didasarkan atas kebutuhan instrinsik anak didik.
2.    Tujuan pendidikan harus mampu memunculkan suatu metode yang dapat mempersatukan aktifitas pengajaran yang sedang berlangsung.
3.    Tujuan pendidikan adalah spesifik dan langsung pendidikan harus tetap menjaga untuk tidak mengatakan  yang berkaitan dengan tujuan umum dan tujuan akhir.
Tujuan pendidikan adalah suatu kehidupan yang baik, yaitu kehidupan seperti yang digambarkan oleh Kingsley Price (1962:476), “Kehidupan yang baik dapat dimiliki, baik oleh individu maupun oleh masyarakat. Kehidupan yang baik merupakan suatu pertumbuhan maksimum dan hanya dapat diukur oleh mereka yang memiliki inelegensi (kecerdasan) yang baik. Perbuatan yang intelijen (cerdas) merupakan jaminan terbaik untuk melangsungkan pertumbuhan, merupakan jaminan terbaik untuk moral yang baik.”
Pada hakikatnya masyarakat adalah terbaik, namun masyarakat yang demokratis merupakan masyarakat terbaik, dimana terdapat kesempatan untuk setiap pekerjaan, dan dalam demokrasi tidak mengenal adanya stratifikasi sosial. Kesamaan-kesamaan merupakan jaminan bahwa setiap orang akan dapat mengambil bagian melaksanakan segala aktivitas lembaga yang ia masuki. Penggunaan intelegensi secara maksimal, berarti memberi kesempatan suatu pertumbuhan kepada individu secara maksimal.
B.       Peranan Siswa Menurut Filsafat Pragmatisme
Dalam filsafat pragmatisme, nilai kebenaran bersifat relatif yang berkesesuaian dengan nilai-nilai yang disepakati masyarakat dan menunjang kepada kehidupan yang sesuai harapan di masa depan. Maka dari itu, siswa memiliki peranan untuk mengolah setiap pengalaman yang didapatkannya untuk mengetahui kebenaran yang ada di masyarakatnya. Dalam hal ini, siswa akan mampu merekonstruksi setiap pengalaman yang ia dapatkan secara kronologis selama ia hidup bermasyarakat serta berinteraksi dengan manusia dan alam di sekitarnya. Setiap pengalaman yang ia dapatkan nantinya akan menjadi suatu pertimbangan bagi siswa tersebut dalam menyelesaikan suatu masalah baik yang berhubungan dengan dirinya maupun orang lain.

C.      Peranan Guru Menurut Filsafat Pragmatisme
Dalam Pragmatisme, belajar selalu dipertimbangkan untuk menjadi seorang individu. Dalam pembelajaran peranan guru bukan “menuangkan” pengetahuannya kepada siswa, sebab upaya tersebut merupakan upaya tak berbuah. Sewajarnya, setiap apa yang siswa pelajari sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan, minat-minat dan masalah pribadinya. Dengan kata lain isi pengetahuan tidak bertujuan dalam dirinya sendiri, melainkan bermakna untuk suatu  tujuan. Dengan demikian seorang siswa yang menghadapi suatu pemasalahan akan mungkin untuk merekonstruksi lingkungannya untuk memecahkan kebutuhan yang dirasakannya. Untuk membantu siswa, guru harus berperan :
·      Menyediakan berbagai pengalaman yang akan memunculkan motivasi. Field Trips, film-film, catatan-catatan, dan tamu ahli merupakan contoh-contoh aktifitas yang dirancang untuk memunculkan minat siswa terhadap permasalah penting;
·      Membimbing siswa untuk merumuskan batasan masalah secara spesifik;
·      Membimbing merencanakan tujuan-tujuan individual dan kelompok dalam kelas untuk digunakan dalam memecahkan masalah;
·      Membantu para siswa dalam mengumpulkan informasi berkenaan dengan masalah. Secara esensial, guru melayani para siswa sebagai pembimbing dengan memperkenalkan keterampilan, pemahaman-pemahaman, pengetahuan dan penghayatan-penghayatan melalui penggunaan buku-buku, komposisi-komposisi, surat-surat, narasumber, film-film, field trips, televisi atau segala sesuatu yang tepat digunakan;
·      Bersama-sama kelas mengevaluasi apa yang telah dipelajari; bagaimana mereka mempelajarinya; dan informasi baru apa yang setiap siswa temukan oleh dirinya (Callahan and Clark, 1983).
Edward J. Power (1982) menyimpulkan pandangan pragmatisme bahwa siswa merupakan organisme yang rumit yang mempunyai kemampuan luarbiasa untuk tumbuh; sedangkan guru berperanan untuk memimpin dan membimbing pengalaman belajar tanpa ikut campur terlalu jauh atas minat dan kebutuhan siswa.
Mengacu kepada prinsip bahwa segala sesuatu terus berubah, prinsip bahwa pengetahuan terbaik yang diperoleh melalui eksperimentasi ilmiah juga selalu berubah dan bersifat relatif, dan prinsip-prinsip relativisme nilai-nilai, maka Callahan and Clark (1983) menyimpulkan orientasi pendidikan pragmatisme adalah Progresivisme. Artinya pendidikan pragmatisme menolak segala bentuk formalisme yang berlebihan dan membosankan dari pendidikan sekolah yang tradisional. Anti tehadap otoritarianisme dan absolutisme dalam berbagai bidang kehidupan, terutama dalam berbagai bidang kehidupan agama, moral, sosial, politik, dan ilmu pengetahuan. Sebaliknya, pendidikan Pragmatisme dipandang memiliki kekuatan demi terjadinya perubahan sosial dan kebudayaan melalui penekanan perkembangan individual peserta didik. Selain itu Callahan and Clark (1983) memandang rekonstrukionisme adalah variasi dari progresivisme, yaitu suatu orientasi pendidikan yang ingin merombak tata susunan kebudayaan lama, dan membangun tata susunan kebudayaan baru melalui pendidikan/sekolah. Perbedaannya dengan progresivisme yaitu bahwa rekonstruksionisme tidak menekankan perubahan masyarakat dan kebudayaan melalui perkembangan individual siswa (child centered), melainkan melalui rekayasa sosial dengan jalan pendidikan atau sekolah.
Guru di sekolah harus merupakan suau petunjuk jalan serta pengamat tingkah laku anakuntuk mengetahui apakah yang menjdi minat perhatian anak. Dengan mengamati perilaku anak tersebut, guru dapat menentukan masalah apa yang akan dijadikaan pusat perhatian anak. Jadi dalam proses belajar mengajar ada beberapa saran bagi guru yang harus diperhatikan, terutama dalam menghadapi dalam kelas, yaitu:
1.    Guru tidak boleh memaksakan suatu ide atau pekerjaan yang tidak sesuai dengan minat dan kemmapuan siswa;
2.    Guru hendaknya menciptakan situasi yang menyebabjab siswa akan merasakn adnya suatu masalah yang ia hadapi, sehingga timbul minat  untuk memecahkan masalah tersebut;
3.    Untuk membangkitkan minat anak hendaklah guru mengenal kemampuan serta minat masing-masing siswa;
4.    Guru harus dapat bisa menciptakan situasi yang menmbulkan kerja sama dalam belajar, antara siswa dengan siswa, antara siswa denga guru, begitu pula antara dengan guru. (Kingley Price, 1962:467)
Jadi tugas guru dalam proses belajar mengajar adalah sebagai fasilitator, memberi dorongan dan kemudahan kepada siswa untuk bekerja bersama-sama, meyelidiki dan mengamati sendiri, berpikir dan menarik kesimpulan sendiri, membangun dan menghiasi sendiri sesuai dengan minat yang ada pada dirinya. Dengan jalan ini si anak akan belajar sambil bekerja anak harus dibangkitkan kecerdasannya  agar pada diri anak timbul khasrat untuk menyelidik secara teratur dan akhirnya dapat berpikir ilmiah dan logis, yaitu cara berpikir yang didasarkan pada fakta dan pengalaman.
D.      Kurikulum Pendidikan Menurut Filsafat Pragmatisme
Menurut para filsuf Pragmatisme, tradisi demokratis adalah tradisi memperbaiki diri sendiri (a self-correcting tradition). Implikasinya warisan-warisan sosial budaya dari masa lalu tidak menjadi fokus perhatian pendidikan. Sebaliknya, pendidikan seharusnya terfokus kepada kehidupan yang baik pada masa sekarang dan masa yang akan datang. Standar kebaikan seseorang diuji secara terus-menerus dan diverifikasi melalui pengalaman-pangalaman yang berubah. Pendidikan harus dilaksanakan untuk memelihara demokrasi. Sebab hakikat demokrasi adalah dinamika dan perubahan sebagai hasil rekonstruksi pengalaman yang terus-menerus belangsung. Namun demikian rekonstruksi ini tidak menuntut atau tidak meliputi perubahan secara menyeluruh. Hanya masalah-masalah sosial yang serius dalam masyarakat yang diuji ulang agar diperoleh solusi-solusi baru.
Dalam pandangan pragmatisme, kurikulum sekolah seharusnya tidak terpisahkan dari keadaan-keadaan yang riil dalam masyarakat. Dalam pendidikan materi pelajaran adalah alat untuk memecahkan masalah-masalah individual, dan siswa secara perorangan ditingkatkan atau direkonstruksi, dan secara bersamaan masyarakat dikembangkan. Karena itu masalah-masalah masyarakat demokratis harus menjadi bentuk dasar kurikulum dan makna pemecahan ulang masalah-masalah lembaga demokratis juga harus dimuat dalam kurikulum. Karena itu kurikulum harus menjadi :
·         Berbasis pada masyarakat;
·         Lahan praktek cita-cita demokratis;
·         Perencanaan demokratis pada setiap tingkat pendidikan;
·         Kelompok batasan tujuan-tujuan umum masyarakat;
·         Bermakna kreatif untuk pengembangan keterampilan-keterampilan baru;
·         Kurikulum berpusat pada siswa (pupil/child centered) dan berpusat pada aktifitas (activity cenetred). Selain itu perlu dicatat bahwa kurikulum pendidikan pragmatisme diorganisasi secara interdisipliner, dengan kata lain kurikulumnya bersifat terpadu, tidak merupakan mata pelajaran-mata pelajaran yang terpisah-pisah.
Sejalan dengan uraian diatas, Edward J.Power (1982) menyimpulkan bahwa kurikulum pendidikan pragmatisme berisi pengalaman-penglaman yang telah teruji, yang sesuai dengan kebutuhan dan minat siswa. Adapun kurikulum tersebut mungkin berubah.
E.       Metode Pembelajaran dalam Pendidikan Menurut Filsafat Pragmatisme


Sebagaimana dikemukakan Callahan and Clark (1983), penganut eksperimentalisme atau pragmatisme mengutamakan penggunaan metode pemecahan masalah (Problem Solving Method) serta metode penyelidikan dan penemuan (Inquiry and Discovery Method). Dalam prakteknya (mengajar), metode ini membutuhkan guru yang memiliki sifat berikut: permissive (pemberi kesempatan), friendly (bersahabat), a guide (seorang pembimbing), open minded (berpandangan terbuka), enthusiastic (bersifat antusias), creative (kreatif), social aware (sadar bermasyarakat), alert (siap siaga), patien (sabar), cooperative dan sincere (bekerja sama dan ikhlas atau bersungguh-sungguh). semoga bermanfaat))

Sejarah Filsafat Pragmatisme

SEJARAH FILSAFAT PRAGMATISME
Pragmatisme berasal dari dua kata yaitu pragma dan isme. Pragma berasal dari bahasa Yunani yang berarti tindakan atau action. Sedangkan pengertian isme sama dengan pengertian isme-isme yang lainnya yang merujuk pada cara berpikir atau suatu aliran berpikir. Dengan demikian filsafat pragmatisme beranggapan bahwa fikiran itu mengikuti tindakan. Aliran ini pertama kali tumbuh di Amerika sekitar abad 19 hingga awal 20. Aliran ini melahirkan beberapa nama yang cukup berpengaruh mulai Charles Sanders Pierce (1839-1914), William James (1842-1910), John Dewey, dan seorang pemikir yang juga cukup menonjol bernama George Herbert Mead (1863-1931).
William James mengatakan bahwa secara ringkas prgamatisme adalah realitas sebagaimana yang kita ketahui. Charles S. Pierce-lah yang membiasakan istilah ini dengan ungkapannya, “Tentukan apa akibatnya, apakah dapat dipahami secara praktis atau tidak. Kita akan mendapat pengertian tentang objek itu, kemudian konsep kita tentang akibat itu, itulah keseluruhan konsep objek tersebut.” Ia juga menambahkan, untuk mengukur kebenaran suatu konsep, kita harus mempertimbangkan apa konsekuensi logis penerapan konsep tersebut. Keseluruhan konsekuensi itulah yang merupakan pengertian konsep tersebut. Jadi, pengertian suatu konsep ialah konsekuensi logis itu. Bila suatu konsep yang dipraktekkan tidak mempunyai akibat apa-apa, maka konsep itu tidak mempunyai pengertian apa-apa bagi kita.
Sebagian penganut pragmatisme yang lain mengatakan bahwa, suatu ide atau tanggapan dianggap benar, jika ide atau tanggapan tersebut menghasilkan sesuatu, yakni jalan yang dapat membawa manusia ke arah penyelesaian masalah secara tepat (berhasil). Seseorang yang ingin membuat hari depan, ia harus membuat kebenaran, karena masa depan bukanlah sesuatu yang sepenuhnya ditentukan oleh masa lalu (Kattsoff, 1992:130).
Segala sesuatu dianggap benar jika ada konsekuensi yang bersifat manfaat bagi hidup manusia. Sebuah tindakan akan memiliki makna jika ada konsekuensi praktis atau hasil nyata yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Masa lalu dan masa depan adalah sesuatu yang telah dan belum terjadi. Sementara itu, masa sekarang adalah fakta, maka hadapilah kenyataan sekarang dengan penuh perjuangan.
William James mengatakan bahwa secara ringkas prgamatisme adalah realitas sebagaimana yang kita ketahui. untuk mengukur kebenaran suatu konsep, kita harus mempertimbangkan apa konsekuensi logis penerapan konsep tersebut. Keseluruhan konsekuensi itulah yang merupakan pengertian konsep tersebut. Jadi, pengertian suatu konsep ialah konsekuensi logis itu. Bila suatu konsep yang dipraktekkan tidak mempunyai akibat apa-apa, maka konsep itu tidak mempunyai pengertian apa-apa bagi kita.
Sejak dahulu hingga dewasa ini, dunia pendidikan selalu membuka diri terhadap kemungkinan diterapkannya suatu format pendidikan yang ideal untuk menjawab permasalahan global. Banyak teori telah diadopsi untuk mencapai tujuan tersebut. Termasuk teori pragmatis dari aliran Filsafat pragmatisme mencoba mengisi ruang dan waktu untuk turut mencari solusi terbaik terhadap model pendidikan yang dianggap selangkah ketinggalan dengan perkembangan pola pikir manusia itu sendiri.
Seiring dengan perkembangan, dunia pendidikan berupaya menyelaraskan antara eksplorasi pikiran manusia dengan solusi tindakan bersama perangkatnya untuk mencapai puncak temuan. Tekanan utama pragmatisme dalam pendidikan selalu dilandaskan bahwa subjek didik bukanlah objek, melainkan subjek yang memiliki pengalaman. Setiap subjek didik tidak lain adalah individu yang mengalami sehingga mereka berkembang, serta memiliki insiatif dalam mengatasi problem-problem hidup yang mereka miliki.
Dalam pelaksanaannya, pendidikan pragmatisme mengarahkan agar subjek didik saat belajar di sekolah tak berbeda ketika ia berada di luar sekolah. Oleh karenanya, kehidupan di sekolah selalu disadari sebagai bagian dari pengalaman hidup, bukan bagian dari persiapan untuk menjalani hidup. Di sini pengalaman belajar di sekolah tidak berbeda dengan pengalaman saat ia belajar di luar sekolah. Pelajar menghadapi problem yang menyebabkan lahirnya tindakan penuh dari pemikiran yang relative. Di sini kecerdasan disadari akan melahirkan pertumbuhan dan pertumbuhan akan membawa mereka di dalam beradaptasi dengan dunia yang berubah. Ide gagasan yang berkembang menjadi sarana keberhasilan.


          B.            Metafisika Pragmatisme
Filsafat pragmatisme secara umum dipandang berupaya menengahi pertikaian idealisme dan empirisme serta berupaya melakukan sintesis antara keduanya. Pragmatisme mendasarkan dirinya pada metode filsafat yang memakai sebab-sebab praktis dari pikiran serta kepercayaan sebagai ukuran untuk menetapkan nilai dan kebenaran. Di sini pandangan William James tentang pragmatism agaknya mewakili pertanyaan kita tentang pragmatism tersebut. pragmatisme adalah sikap memandang jauh terhadap benda-benda pertama, prinsip-prinsip, serta kategori-kategori yang dianggap sangat penting untuk melihat ke depan pada benda-benda terakhir berdasarkan akibat dan fakta-fakta.
Dalam penjabaran William di atas, kita bisa mengetahui betapa filsafat pragmatisme selalu menjadi pemikiran filsafat yang didasarkan pada metode dan pendirian ketimbang pada doktrin filsafat yang bersifat sistematis. Oleh karena itu, pragmatisme kerap pula disadari sebagai upaya-upaya penyelidikan eksperimental berdasarkan metode sains modern. Pengalaman menjadi sesuatu yang begitu fundamental dan begitu menentukan.
Para pragmatis selalu menolak jika filsafat mereka dikatakan berlandaskan suatu pemikiran metafisik sebagaimana metafisika tradisional yang selalu memandang bahwa dalam hidup ini terdapat sesuatu yang bersifat absolute dan berada di luar jangkauan pengalaman-pengalaman empiris. Dari itu, bagi mereka seandainya pun realitas adikodrati memang ada, mereka berasumsi bahwa manusia tidak akan mampu mengetahui hal itu.

Pemikiran ini menunjukkan bahwa epistemology pragmatisme sepenuhnya berbasis pendekatan empiris : apa yang bisa dirasakan itulah yang benar. Artinya, akal, jiwa, dan materi adalah sesuatu hal yang tidak dapat dipisahkan. Sebab hanya dengan mengalamilah pengetahuan itu dapat diserap. Pengalaman menjadi parameter ketika sesuatu dapat diterima kebenarannya. Oleh karena itu, para pragmatis tidak nyaris pernah mendasarkan satu hal kebenaran. Menurut mereka, pengalaman yang pernah mereka alami akan berubah jika realitas yang mereka alami pun berubah.

Corak paling kuat dari pragmatism adalah kuatnya pemikiran tentang konsep kegunaan. Makna kegunaan dalam pragmatisme lebih ditetapkan pada kebenaran sains, bukan pada hal-hal bersifat metafisik. Maka, dalam pragmatisme pengetahuan tidak selalu mesti diidentikkan dengan kepercayaan, tetapi kerap menjadi dua hal yang sama sekali terpisah. Kebenaran yang mungkin dianggap perlu dipercayai (to believe) bagi para pragmatis selalu menjadi sesuatu hal bersifat professional atau pribadi dan itu tidak perlu dikabarkan pada public. Sedangkan, hal-hal yang diangap perlu diketahui haruslah selalu dikabarkan atau didemonstrasikan pada pengamat yang qualified dan tak berpihak. Kepercayaan memang ada dalam pengetahuan meski banyak pula kepercayaan tidak akan ditemukan siapapun di banyak pengetahuan.

Pandangan-pandangan itu semuanya terangkai oleh konsep kegunaan dan fungsi pragmatis. Oleh karena itu, para pragmatis kerap mengungkapkan betapa apa yang kita mesti ketahui keraplah bukan sesuatu yang mesti kita percayai. Dalam sisi yang lain, sebab konsep kegunaan, apa yang ita percayai tidak selalu menjadi sesuatu hal yang pragmatisme selalu hadir menjadi relative dan kasuistik. Sebuah kebenaran yang dipandang benar-benar valid dan berguna, di waktu yang lain bisa menjadi sesuatu hal yang sama sekali mesti dilupakan.
C.       Filsafat Pragmatisme dalam Pendidikan
Sejak dahulu hingga dewasa ini, dunia pendidikan selalu membuka diri terhadap kemungkinan diterapkannya suatu format pendidikan yang ideal untuk menjawab permasalahan global. Banyak teori telah diadopsi untuk mencapai tujuan tersebut. Termasuk teori pragmatis dari aliran Filsafat pragmatisme mencoba mengisi ruang dan waktu untuk turut mencari solusi terbaik terhadap model pendidikan yang dianggap selangkah ketinggalan dengan perkembangan pola pikir manusia itu sendiri.
Seiring dengan perkembangan, dunia pendidikan berupaya menyelaraskan antara eksplorasi pikiran manusia dengan solusi tindakan bersama perangkatnya untuk mencapai puncak temuan. Tekanan utama pragmatisme dalam pendidikan selalu dilandaskan bahwa subjek didik bukanlah objek, melainkan subjek yang memiliki pengalaman. Setiap subjek didik tidak lain adalah individu yang mengalami sehingga mereka berkembang, serta memiliki insiatif dalam mengatasi problem-problem hidup yang mereka miliki.
Dalam pelaksanaannya, pendidikan pragmatisme mengarahkan agar subjek didik saat belajar di sekolah tak berbeda ketika ia berada di luar sekolah. Oleh karenanya, kehidupan di sekolah selalu disadari sebagai bagian dari pengalaman hidup, bukan bagian dari persiapan untuk menjalani hidup. Di sini pengalaman belajar di sekolah tidak berbeda dengan pengalaman saat ia belajar di luar sekolah. Pelajar menghadapi problem yang menyebabkan lahirnya tindakan penuh dari pemikiran yang relative. Di sini kecerdasan disadari akan melahirkan pertumbuhan dan pertumbuhan akan membawa mereka di dalam beradaptasi dengan dunia yang berubah. Ide gagasan yang berkembang menjadi sarana keberhasilan .
Model pembelajaran pragmatisme adalah anak belajar di dalam kelas dengan cara berkelompok. Dengan berkelompok anak akan merasa bersama-sama terlibat dalam masalah dan pemecahanya. Anak akan terlatih bertanggung jawab terhadap beban dan kewajiban masing-masing. Sementara, guru hanya bertindak sebagai fasilitator dan motivator. Model pembelajaran ini berupaya membangkitkan hasrat anak untuk terus belajar, serta anak dilatih berpikir secara logis. Sebagaimana yang diungkap oleh Power (Sadulloh, 2003:133) bahwa, implikasi dari filsafat pendidikan pragmatisme terhadap pelaksanaan pendidikan mencakup tiga hal pokok. Ketiga hal pokok tersebut, yaitu:
1.        Tujuan Pendidikan, tujuan pendidikan pragmatisme adalah memberikan pengalaman untuk penemuan hal-hal baru dalam hidup sosial dan pribadi.
2.        Kedudukan Siswa, kedudukan siswa dalam pendidikan pragmatisme merupakan suatu organisasi yang memiliki kemampuan yang luar biasa dan kompleks untuk tumbuh.
3.        Kurikulum,  kurikulum pendidikan pragmatis berisi pengalaman yang teruji yang dapat diubah. Demikian pula minat dan kebutuhan siswa yang dibawa ke sekolah dapat menentukan kurikulum. Guru menyesuaikan bahan ajar sesuai dengan minat dan kebutuhan anak tersebut.

4.        Metode, metode yang digunakan dalam pendidikan pragmatisme adalah metode aktif, yaitu learning by doing (belajar sambil bekerja), serta metode pemecahan masalah (problem solving method), serta metode penyelidikan dan penemuan (inquiri and discovery method). Dalam praktiknya (mengajar), metode ini membutuhkan guru yang memiliki sifat pemberi kesempatan, bersahabat, seorang pembimbing, berpandangan terbuka, antusias, kreatif, sadar bermasyarakat, siap siaga, sabar, bekerjasama, dan bersungguh-sungguh agar belajar berdasarkan pengalaman dapat diaplikasikan oleh siswa dan apa yang dicita-citakan dapat tercapai.

5.        Peran Guru. Peran guru dalam pendidikan pragmatisme adalah mengawasi dan membimbing pengalaman belajar siswa, tanpa mengganggu minat dan kebutuhannya.



Selain hal di atas, pendidikan pragmatisme kerap dianggap sebagai pendidikan yang mencanangkan nilai-nilai demokrasi dalam ruang pembelajaran sekolah. Karena pendidikan bukan ruang yang terpisah dari sosial, setiap orang dalam suatu masyarakat juga diberi  kesempatan untuk terlibat dalam setiap pengambilan keputusan pendidikan yang ada. Keputusan-keputusan tersebut kemudian mengalami evaluasi berdasarkan situasi-situasi sosial yang ada.